Rabu, 26 November 2008

Menelaah Islam Dalam Pandangan Subtantif

Sebuah kenyataan yang menyedihkan bagi umat muslim beberapa tahun ini sering terjadi. Adanya kelompok islam yang menyerang atau menyalahkan kelompok islam lain, dengan berbagai tindakan, mulai dari cacian, hinaan, bahkan dengan kekerasan fisik. Disampig itu marak pula bermunculan ajaran-ajaran agama islam dalam bentuk sekte-sekte yang ekslusif dan cenderung bersifat protes terhadap ajaran agama islam. 
Kenyataan-kenyataan tersebut, apapun bentuknya semestinya membuat kita merasa terdorong sebagai umat islam untuk mencari akar permasalahannya dan menyelesaikannya. Bukannya dengan memperkeruh keadaan dengan saling menuding dengan pelabelan ajaran sesat.  
Tulisan ini hadir sebagai sebuah tinjauan kritis atas perilaku sebagaian umat islam yang merasa dirinya benar dan menyalahkan semua ajaran islam lain yang sebenarnya juga islam. Karena menurut saya, apapun bentuknya selama ajaran islam itu tidak menyimpang dari ajaran Alquran dan Hadist, bukanlah sesuatu yang sesat. 
Dengan tulisan ini juga saya ingin mengajak umat islam untuk saling bersatu padu agar tidak mudah dipecah oleh kekuatan-kekuatan luar yang memang sengaja mencari celah untuk menistakan ajaran islam dan mengkafirkan orang islam.
Islam dan Kontekstualisasinya.
Sebenarnya, ketika semua orang mampu untuk bersikap subtantif dan mampu membedakan ajaran yang sifatnya subtantif dan ajaran yang sifatnya instrumental, maka niscaya tidak ada pertentangan dikalangan umat islam. Sejarah ketika nabi Muhamad SAW masih hidup, mengajarkan bahwa hanya ada satu ajaran islam, yaitu ajaran islam yang subtantif sebagai rahmatan lil alamin (Rahnat untuk segenap alam, bukan sebagian). Sebagai rahmatan lil alamin, islam bukan saja hanya akan membawa kebaikan bagi umat islam tetapi juga kebaikan bagi umat-umat lain yang ada didunia ini. Ajaran inilah yang selalu ditekankan oleh nabi muhamad SAW. Sehingga ketika berhasil menduduki mekkah, nabi Muhammad SAW tidak mencederai siapapun dari orang-orang kafir.
Perkembangan islam selanjutnya, ketika islam mulai mengalami perkembangan, maka mulailah islam menyebar dimana-mana dan berbagai umat dari penjuru dunia datang ketanah Mekkah untuk belajar dan memperdalam pengetahuannya terhadap agama islam. Mereka-mereka inilah yang kemudian menjadi penyebar agama islam keberbagai penjuru dunia. 
Sebagai sebuah ajaran baru, islam tidak bisa diterima secara langsung oleh penduduk dunia pada saat itu. Maka kemudian para penyebar agama islam mulai melakukan strategi syiar islam dengan memasukkan unsur-unsur lokal yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran islam. Hal ini dilakukan tentu saja untuk mempermudah pemahaman masyarakat terhadap islam. Hal inilah yang kemudian memunculkan perbedaan tradisi atau ritual tertentu pada setiap komunitas muslim diberbagai belahan dunia. Tradisi umat muslim di Indonesia tentu saja akan megalami perbedaan dengan berbagai ajaran yang ada dibelahan bum lain, termasuk di arab sendiri. Hal ini karena ajaran tersebut telah dikontekstualisasikan dengan kondisi lokal sehingga orang-orang mudah memahami dan mendalaminya.
Pada perkembangan lebih lanjut, mulailah mucul berbagai lembaga-lembaga islam seagai sebuah wadah yang bisa menampung dan mewadahi umat islam. Lembaga-lembagai ini kebanyakan bersifat lokal. Hal ini dikarenakan biasanya lembaga ini lahir dari pertemuan-pertemuan dimesjid atau surau. Ketika terlembagakan, mulailah ajaran islam mengalami berbagai bentuk transformasi atau dengan kata yang lebih halus pergeseran. Hal ini, karena mulailah dimasukkan kepentingan dalam ajaran-ajaran agama. Baik itu kepentingan kelompok ataupun kepentingan individu. Ketika sebuah lembaga semakin besar, maka disinilah muncul potensi dimana ajaran islam kemudian hanya menjadi bingkai kepentingan sekelompok elit atau golongan yang menguasai jalannya sebuah lembaga islam.
Dari sini lahirlah doktrin-doktrin yang berkedok islam untuk menciptakan sebuah suprastruktur untuk mendukung kekuasaan seseorang dalam lembaga islam. Mungkin bagi beberapa masyarakat akan sangat mengenal beberapa peraturan atau doktrin aturan untuk menghormati kiai, memberikan kekuassaan tertinggi bagi kiai dan tidak diperkenankan mempertanyakan motif tindakan dari seorang kiai. Bahkan pada kondisi-kondisi ekstrim, seorang kiai bisa saja menjadi raja kecil atau bahkan lebih parah menjadi tuhan kecil dikalangan para pengikutnya. Mungkin kita pernah mendengar ajaran islam yang mengajarkan untuk berdoa kepada tuhan melaui perantara kiai, ataupun beberapa jaran islam lainnya yang menurut saya nyeleneh. 
Dibeberapa tempat utamanya daerah-daerah yang rawan pertikaian diberbagai belahan dunia, islam juga terkontekstualisasikan dan menjadi sebuah ajaran atau doktrin yang membenarkan untuk membunuh atau menyakiti sesama umat islam ataupun umat lain. Kondisi ini kemudian banyak melahirkan berbagai kelompok-kelompok islam garis keras atau yang lebih kita kenal dengan radical fundamentalist. Benar atau tidaknya ajaran-ajaran islam tersebut, tetap saja mereka menggunakan nama islam untuk melabeli ajaran mereka. Dan kitapun wajib memberikan apresiasi bagi mereka, karena sebenarnya memang kita adalah umat yang sama.
Melanjutkan pembahasan mengenai kontekstualisasi islam, maka ketika terlembagakan, maka mau tidak mau ataupun disadari atau tidak disadari maka umat muslim dalam kelompok tersebut telah menciptakan sebuah bentuk eksklusifitas. Baik tehadap ajaran agama lain maupun terhadap ajaran agama islam lain diluar kelompok mereka. Sebagai implikasinya maka akan terlahirkan sebuah bentuk perasaan arogansi, yang lama kelamaan akan semakin kuat. Hal inilah yang lama kelamaan mengkristal dan tanpa disadari atau diketahui oleh pengikut atau pewaris ajaran selanjutnya diterima sebagai sebuah paket yang menyertai ajaran agama islam. Maka lama kelamaan, akan terjadilah reifikasi dalam ajaran islam. Dimana pegikut ajaran-ajaran agama islam tidak mampu lagi membedakan mana ajaran yang subtantif dan mana ajaran yang bersifat instrumental yang lahir dari konteks. Dan pada perkembangan selanjutnya, ajaran islam hanya bersifat simbolis dan tidak lagi mengandung nilai-nilai religius. Agama islam menjelma menjadi pakaian dunia. Ibadah hanya menjadi sekedar prestise bukan lagi sebuah hubungan antara manusia dengan tuhannya. Bahkan pada kondisi yang lebih parah islam hanya menjadi sebuah jubah pelindung bagi para penjahat tidak bermoral. Contohnya banyak pemimpin partai yang mempertunjukkan ibadahnya hanya untuk meraih simpati dari umat muslim, dan hal ini juga banyak terjadi di Indonesia.
Dari sini, saya ingin mengatakan bahwa agama islam yang kita kenal sekarang, umumnya sudah bukan ajaran islam yang murni lagi. Tetapi lebih banyak disusupi oleh berbagai kepentingan. Baik itu kepentingan kelompok maupun perorangan. Maka seharusnyalah kita jeli dalam melihat ajaran agama, sehingga kita bisa terhindar dari jebakan pintu neraka yang bertuliskan islam. Saat ini saya ingin mengajak saudara-saudaraku umat islam untuk bukan saja menjadi umat islam yang hanya mengikuti dogma yang diserukan oleh para penguasa. Marilah kita kembali meperlajari islam secara subtantif dengan kembali memperlajari Alquran dan hadist. Sehingga kita tidak sesat oleh islam kontekstual seperti yang saya bahasakan tadi.
Akhir dari tulisan ini, saya ingin meminta saudara-saudaraku umat muslim untuk tidak merasa benar sendiri dan tidak menyalahkan umat islam yang lain. Disini saya mengutip kalimat Allah SWT untuk mengingatkan kita semua agar tidak sombong dengan apa yang kita miliki; “ janganlah kamu memperolok-olok suatu kaum, karena mereka mungkin saja lebih baik dari pada kamu.”Qs…..ayat…… Kita adalah umat muslim, dan belajar agama islam, maka tidak seharusnya kita saling membedakan satu sama lain. Karena dihadapan Allah SWT, semua mahluk adalah sama.



Sabtu, 08 November 2008

Faktor - faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, adalah hal yang sangat krusial bagi berlangsungnya sebuah budaya politik yang demokratis bagi sebuah masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik bukan hanya dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tetapi lebih dari itu kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mencerminkan dinamisnya hubungan antara partai politik dan konstituennya serta tingginya derajat partaisipasi masyarakat dalam proses politik.
Kepercayaan masyarakat, tentu tidak lahir begitu saja tetapi ada proses-proses yang mendahuluinya. Proses terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, melibatkan berbagai hal. Baik yang berasal dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal indivivu. Berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses terbentuknya kepercayaan individu terhadap partai politik menjadi struktur yang menyusun atau membentuk keprcayaan seseorang terhadap partai politik.
Dari penelitian yang dilakukan dilapangan dengan menggunakan metode observasi dan deep interview maka ditemukan beberapa variabel yang menjadi struktur atau-faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakt terhadap partai politik. Anatara lain:

1. Sosialisasi politik.
Sosialisasi politik menjadi pokok penting dalam menunjang kepercayaan masyarakat terhadap partai. Dari dari observasi dan wawancara yang dilakukan dengan responden, terungkap bahwa sosialisasi politik merupakan faktor dominan yang berperan penting dalam menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai. Sosialisasi politik yang positif akan memberikan dampak positif berupa tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Demikian juga sebaliknya, sosialisasi politik yang negatif menyebabkan kepercayaan amasyarakt terhadap partai politik menjadi sangat rendah.
Perlu diketahui bersama, bahwa sosialisasi politik memberikan informasi-informasi atau ide-ide politik kepada masyarakat yang menjadi pengetahuan politik bagi masyarakat. Pengetahuan politik yang diperoleh menjadi dasar dalam memberikan penilaian terhadap partai politik. Informasi mengenai partai politik yang diterima oleh individu melalui media, keluarga dan lingkungan sosialmenjadi dasar pengetahuan yang digunakan bagi masyarakat atau ndividu dalam menilai sebuah partai apakah layak dipercaya atau tidak.
Sosialisasi politik yang dimaksudkan oleh penulis adalah proses transmisi nilai-nilai politik yang yang diterima individu yang berasa dari keluarga, lingkungan pergaulan dan media massa. Nilai-nilai yang diserap oleh indivedu inilah yang kemudian membentuk persepsi seseorang terhadap partai politik. Baik buruknya persepsi seseorang terhadap partai politik akan sangat dipengaruhi oleh ide-ide, nilai dan informasi yang diterima selama proses sosialisasi berlangsung.

2. Perilaku partai politik
Dominannya peran media massa dalam memberikan atau menyampaikan informasi politik tertang parpol kepada masyarakat,memberikan pengetahuan yang luas bagi masyarakat mengenai perilaku partai politik. Gencarnya pemberitaan media tentang partai olitik semakin memperkaya informasi yang dimiliki oleh masyarakat dalam menilai partai politik.
Dari wawancara yang dialkukan dengan responden diperoleh fakta bahwa yang menjadi penilaian utama bagi masyarakat untuk mempercayaai sebuah partai politik adalah dengan melihat bagaimana perilaku partai politik. Dalam hal ini bukan saja bagaimana perilaku organisasi tetapi juga orang-orang yang berada dalam partai baik yang berada dalam organisasi kepartaian sebagai pengurus ataupun orang-orang partai yang menjadi pejabat negara. Hal yang paling dinilai oleh masyarakat adalah bagaimana perilaku organisasi partai, orang-orang dalam partai serta pejabat negara serta berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Objek sorotan utama masyarakat utamanya adalah bagaimana perilaku para pejabat negara dan bagaimana kebijakan yang dihasilkan.
Perilaku pejabat negara, partai dan kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah biasanya dinilai masyarakat dengan nilai-nilai sosial yang menjadi pegangan dalam berperilaku, seperti nilai kejujuran,keadilan,loyalitas dan lain sebagainya. Jadi bisa dikatakan bahwa dalam mempertimbangkan kepercayaan terhadap sebuah partai politik masyarakat manggunakan berbagai nialai-nilai standar yang dijadikan norma dalam pergaulan. Disini,nilai-nialai sentral dalam masyarakat berbperan dalam membentuk persepsii masyarakat terhadap partai politik.
Dalam penilaian terhadap partai politik, seluruh responden memberikan jawaban yang sifatnya retrospektif, dengan melihat kebelakang apa yang pernah dilakukan oleh sebuah partai politik atau tokoh-tokoh partai, untuk kemudian dijadikan dasar penilaian dalam membangun kepercayaan terhadap partai politik tertentu.

3. Institusi Partai
Institusi partai menjadi salah satu perhatian utama bagi masyarakat untuk membangun kepercayaan terhadap partai politik, dalam hal ini, sejauh mana partai politik bisa menjangkau masyarakat baik dari segi organisasi maupun dalam latform yang ditawarkan. Selain ini stabilitas institusi partai politik juga menjadi salah satu poin yang juga cukup signifikan dalam mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sebuah partai politik.

4. Faktor Personal
kepercayan responden terhadap partai juga turut dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang berada didalam partai. Dalam hal ini, kepercayaan responden terhadap sebuah partai politik bisa didasarkan pada penilaian terhadap tokoh-tokoh yang berada didalam partai. Hal utama yang menjadi perhatian responden dalam membangun kepercayaan terhadap partai politik dalam pandangan ini adalah bagaimana reputasi orang atau tokoh yang menjadi pengurus atau kandidat partai tersebut. Semakin baik reputasi dan popularitas seseorang tokoh akan semakin mengundang kepercayaan masyarakat untuk memberikan dukungan kepada partai politik dimana tokoh tersebut berada.kualitas orang –orang yang berada diadalampartai menjadi pertimbangan untama untuk mempercyaai sebuah partai politik.
Selain memperhatikan reputasi tokoh yang berada dalam partai, dalam wawancara yang dilakukan dengan responden, juga diketahui bahwa kepercayaan seseorang terhadap partai juga busa ditentukan dengan adanya hubungan personal dengan orang-orang yang berada dalam partai. Beberapa responden beralasan bahwa hubungan personal dengan orang-orang yang berada dalam partai bisa dijadikan sebagai sebuah pijakan unutuk mempercayaai sebuah partai, meskipun kepercayaan ini sifatnya lebih personal dan hanya tertuju kepada person yang mempunyai hubungan tertentu dengan dirinya (responden).
5. Faktor simbolis
Selain faktor hubungan personal, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor simbolis yang sifatnya lebih mengarah pada keterwakilan identitas. Adapun faktor-faktor simbolis tersebut antara lain :
· ideologi; adanya kesamaan ideologi dengan partai politik tertentu memberikan masyarakat derajat konfidensi yang labih tinggi terhadap partai tersebut. Hal ini diakui oleh responden dengan alasan bahwa partai yang seideologi setidaknya akan mempunyai visi dan misi yang sama dengan apa yang dipikirkan atau yang dinginkan olehnya (responden). Sehingga alasan ideologi menjadi dasar dalam keputusan responden untuk lebih mempercayai partai politik tertentu.
· Agama, dalam hal ini sebagai simbol kelompok umat beragama meskipun tidak berbeda jauh dengan ideologi namun agama juga menjadi alasan kenapa responden lebih memilih untuk mempercayaai sebuah partai politik tertentu. Alasan persamaan keyakinan memberikan responden kedekatan emosional kepada sebuah partai politik tertentu tanpa memperdulikan platform partai.
· Primordialisme, adanya pencitraan partai dengan menggunakan identitas wilayah, suku, ras dsb menjadi salah satu pertimbangan bagi responden untuk mempercayaai partai politik.

6. Interest engagement.
Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik juga dipicu oleh adanya keterlibatan kepentingan tehadap parta politik. baik itu kepentingan yang sifatnya politis atau untuk mengejar kekuasaan ataupun kepentingan untuk memeroleh keuntungan. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap sebuah partai politik maka semakin besar juga kepercayaanya terhadap sebuah partai politik. hal ini bisa terjadi karena munculnya anggapan bahwa hanya partai atau orang-orang dalam partai tertentu yang bisa membantu mencapai kepentingannya. Hal ini dikemukakan oleh salah seorang responden yang bergerak dalam pengembangan seni. Salah satu faktor yang memicu kepercayaannya terhadap partai politik adalah anggapannya bahwa partai Golkar (dpcbone) bisa memberikannya bantuan dalam pengembangan senia yang ditekuninya khususnya untuk orang-orang tertentu yang ada didalamnya.

7. Keterlibatan dalam aktivitas partai politik.
Keterlibatan seseorang dengan partai politik juga bisa memicu kepercayaan seseorang terhadap partai politik. Hal ini disimpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan bahwa semakin tinggi intensitas dan kualitas keterlibatan masyarakat dalam setiap aktivitas partai politik, maka semakin semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Keterlibatan seseorang dalam aktivitas partai memberikan berbagai pengetahuan dan pengalaman mengenai partai politik, hal ini juga memungkinkan seseorang menjadi dekat dengan sebuah partai tertentu. Hal inilah yang kemudian bisa memicu kepercayaan seseorang terhdap partai politik. Disisi lain, orang-orang yang tidak terlibat secara intens dalam kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh partai politik memiliki kepercayaan lebih rendah terhadap partai politik. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan mereka terhadap institusi partai politik dan tidak adanya hubungan-hubungan personal antara individu dengan partai politik yang bisa memicu kepercayaan seseorang terhadap partai politik.

8. Struktur Sosial
Struktur sosial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pola pergaulan dalam sebuah masyarakat. Dalam skope politik lokal, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik bisa dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, juga ditemukan bahwa struktur sosial masyarakat memberikan referensi bagi masyarakat untuk mempercayai sebuah partai politik tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada masyarakat tertentu yang memiliki pengetahuan terbatas tentang fungsi dan peran partai politik menjadikan struktur sosial sebagai rujukan dalam mempertimbangkan kepercayaannya terhadap partai. Dari beberapa responden yang diwawancarai ditemukan bahwa pola hubungan sosial seperti otoritas tradisonal maupun patrimonialisme masih menjadi salah satu rujukan dalam membangun kepercayaan mereka terhadap partai. Masyarakat dikabupaten bone yang sebagian besar masih memegang teguh adat istiadat dan tatakrama dalam lingkungan sosial menjadikan struktur sosial sebagai rujukan dalam kepercayaan mereka terhadap partai. Alasan yang dikemukakan oleh responden bermacam-macam, salah satunya adalah keberadaan “puang” mereka dalam sebuah partai sehingga dia lebih percaya pada partai tersebut.

9. Party brand name.
Party brand name bisa diartikan sebagai citra sebuah partai yang terbentuk dalam pandangan masyarakat. Biasanya partai politik akan membangun citra tersendiri sebagai jargon yang digunakan dalam menggalang massa pendukung. Hal ini ternyata terbukti efektif dalam memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Dari pengakuan responden diketahui bahwa brand name sebuah partai bisa memberikan sebuah pertimbangan bagi masyarakat untuk mempercayaai partai tertentu. Disini responden menuturkan bahwa partai yang paling dipercaya dan memberikan derajat konfidensi yang palingtinggi baginya adalah PDK hal ini dikarenakan pencitraan partai demokrasi kebangsaan tersebut sebagai “partai-nya orang bugis” sehingga responden kemudian lebih mudah mempercayai partai politik tersebut. Pencitraan partai lama dan partai baru juga banyak mempengaruhi pertimbangan responden dalam mempercayai sebuah partai politik.

Partai politik; Defenisi dan Fungsi

Berbeda dengan demokrasi langsung yang dipraktekkan di masa Yunani kuno, demokrasi modern sebagai sebagai demokrasi tidak langsung membutuhkan media penyampaian pesan politik kepada negara (pemerintah). Partai politik sebagai institusi yang keberadaan dan perannya diatur dalam konstitusi modern, menjadi media dalam proses penyampaian pesan politik yang berupa aspirasi masyarakat kepada negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, partai politik berkembang sebagai institusi yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan demokrasi modern. Dimana demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representativeness), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen (DPR/DPRP) maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian.
Melihat peran vital yang dijalankan oleh partai politik dalam demokrasi modern, partai politik pun kemudian berkembang menjadi salah satu kajian utama dalam literatur ilmu politik. Partai politik menjadi sebuah fenomena politik yang menarik bagi para ahli untuk dikaji dan diteliti.
Salah satu ilmuwan yang paling pertama melakukan kajian terhadap partai politik adalah Emund Burke[1], beliau adalah seorang ilmuwan politik dan salah seorang anggota parlemen Inggris pada abad ke delapan belas. Burke mengemukakan defenisinya tentang partai politik pada tahun 1771 bahwa;
“Party is a body of men united, for promoting by their joint endeavour the national interest, upon some particular principle in wich they all agreed”

Defenisi yang dikemukakan burke diatas adalah merupakan sebuah pandangan normatif terhadap partai, dimana partai digambarkan sebagai sebuah institusi dimana sekelompok orang bersatu dan bersama-sama memperjuangkan kepentingan mereka untuk dijadikan sebuah kebijakan nasional, yang terikat oleh prinsip-prinsip yang mereka sepakati bersama (ideologi). Pandangan Burke tentang partai politik, ini banyak ditentang oleh para ahli, dimana partai dalam pandangan Burke merupakan sebuah idealitas yang tidak cocok dengan realitas partai yang terjadi di lapangan. Disamping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Burke tentang partai politik terlalu luas dan tidak bisa digunakan untuk membedakan partai dengan faksi[2].
Defenisi yang lebih inklusif kemudian di kemukakan oleh Leon D. Epstein dalam menggambarkan realitas partai politik yang terjadi pada demokrasi di Amerika dan dan Eropa.
“ Political parties is any group, however loosely organized, seeking to elect govermental officeholder under a given label”[3].

Defenisi yang dikemukakan oleh Epstein ini memberikan gambaran bahwa partai politik merupakan sebuah organisasi atau kelompok, yang berusaha untuk memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan dengan berkontestasi dalam pemilu dan dipilih oleh masyarakat berdasarkan lambang atau tanda gambar mereka yang ada dalam kertas suara (Ballot). Defenisi ini, memang lebih bisa digunakan untuk menggambarkan realias partai, dimana defenisi ini menekankan aspek-aspek pragmatis dari sebuah partai politik, dan tidak menekankan pada ideologi, karena mengacu pada realitas kepartai di Amerika dan Eropa yang tidak lagi terikat dengan eksklusifitas ideologi dalam pengelolaan partai.
Dalam perkembangan literatur partai politik selanjutnya, para pemikir ekonomi juga mencoba memberikan defenisi ilmu politik berdasarkan pandangan dan perspektif keilmuan yang mereka anut. Anthony downs[4], salah satu pemikir ekonomi yang mencoba memberikan defenisi tentang partai politik dengan mengemukakan konsep rational Voters. Dimana dalam defenisinya, Downs tidak setuju dengan pandangan yang melihat partai sebagai kelompok yang hanya ditujukan untuk mengejar jabatan, lebih jauh, dia melihat partai politik sebagi sebuah koalisi dari sekelompok orang yang berusaha mengontrol aparatus yang memerintah dengan alat-alat yang legal. Downs percaya bahwa partai-parti politik yang ada, hanya berhasrat untuk mengusahakan dan mengotrol kekuasan birokrasi. dia lebih lanjut mengemukakan defenisinya sebagai berikut;
” By Coalitions, we mean a group of individuals who have certain ends in common and cooperate with other to achieve them . By governing apparatus, we mean the physical, legal, and institutional equipment which the government uses to carry out its specialized role in the division of labor. By legal means, we mean either duly constituted elections or legitimate influence”

Menurut defenisi yang dikemukakan Downs, partai pada dasarnya sebuah kelompok elit yang berusaha untuk masuk kedalam pemerintahan. Para pemilih, bisa dibandingkan dengan konsumen yang merespon kepada kebijakan publik yang ditawarkan oleh para pemburu jabatan ini. Para pemilih merupakan individu yang rasional yang selalu melakukan evaluasi terhadap alternatif pilihan yang dihadapkan pada mereka.
Defenisi yang dikemukakan oleh Anthony Downs juga banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, pandangan lainnya melihat bahwa pemilih dalam menentukan pilihannya tidak selamanya bisa bersifat rasional[5]. Hal ini disebabkan karena ada kondisi tertentu dimana individu dihadapkan pada sebuah kondisi yang tidak memungkinnya untuk bertindak secara rasional, antara lain contohnya ketika individu berada dalam tekanan atau pada saat dihadapkan pada pilihan tunggal.
Defenisi Partai Politik yang lain dikemukakan oleh Giovanni Sartori. Dimana dalam defenisinya, Sartori menggambarkan parta politik sebagai kelompok politik yang di identifikasi dengan lambang yang digunakan dalam pemillihan umum, dan mampu menempatkan kandidatnya dalam pemilihan umum untuk memperebutkan jabatan publik[6]. Apa yang dikemukakan oleh Sartori, menegaskan bahwa partai politik identik dengan lambang yang mereka gunakan dalam pemilihan umum. Mereka bersaing untuk mencalonkan kandidat-kandidatnya dalam pemilu sehingga bisa memenangkan persaingan untuk memperoleh kedudukan dalam jabatan publik. Semakin banyak kandidat mereka yang terjaring dalam pemilihan Umum dan berhasil menduduki jabatan publik, maka makin besar peluang partai politik untuk mengendalikan jalannya pemerintahan. Hal ini juga memungkinkan partai politik untuk mengangkat kepentingan mereka atau aspirasi masyarakat yang mereka wakili kedalam pemerintahan, untuk dirumuskan sebagai kebijakan.
Defenisi partai politik yang berbeda dikemukakan oleh Frank J. Surouf. Dalam pandangannya, Surouf tidak terlalu menekankan pada aspek hakekat atau tujuan partai politik, tetapi lebih menekankan pada aspek organisasi dari partai politik. Dalam uraiannya Surouf menggambarkan partai politik sebagai raksasa politik berkepala tiga (Three-headed political giant)[7]. Surouf menggambarkan organisasi partai politik sebagai sebuah struktur sosial, dimana dalam tiap struktur kepartaian menjalankan fungsi, peran, tanggung jawab dan corak aktivitas yang beragam dalam sistem politik, serta saling berhubungan antara satu struktur dengan struktur yang lain. Ketiga struktur tersebut antara lain; Partai dikantor pusat (Party in the central office), Partai dalam pemerintahan (Party in the goverment) dan partai pada akar rumput (Party in the Electorate).
Party in the office menggambarkan organisasi formal partai politik, yang terdiri dari pemimpin partai, aktivis partai, dan anggotanya. Orang-orang berada dalam struktur ini, membuat dan memutuskan strategi yang digunakan dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi partai. Mereka bekerja melalui komite, kaukus, konfrensi dan konvensi dan mereka dikontrol oleh hukum negara dan peraturan yang berlaku di dalam partai.
Party in the government, merujuk kepada orang-orang partai yang berhasil menduduki jabatan publik, seperti presiden, gubernur, bupati atau anggota dewan yang berada diparlemen nasional maupun daerah. Orang-orang yang memegang jabatan ini berperan sebagai perpanjangan tangan partai dalam pemerintahan, dan bertugas untuk memperjuangkan kepentingan partai mereka dalam pemerintahan untuk dimasukkan dalam kebijakan pemerintah.
Party in the electorate, merupakan struktur yang paling susah untuk digambarkan, terdiri dari orang-orang yang memiliki derajat loyalitas yang beragam terhadap partai, yang memilih untuk partai tersebut pada saat pemilihan umum tetapi tdak menjalankan sebuah kegiatan yang aktif dalam partai politik, selain pada saat pemilihan umum berlangsung. Orang-orang dalam struktur ini adalah klien atau simpatisan dari partai, dan mereka hanya bertanggung jawab untuk memberikan suara mereka kepada partai politik dalam pemilu. Meskipun perannya tidak terlalu besar, tetapi pada struktur inilah partai politik menggantungkan harapan mereka untuk memperoleh jabatan dan menguasai pemerintahan. Mereka menentukan berhasil atau tidaknya sebuah partai untuk memenangkan sebuah posisi atau jabatan dalam pemerintahan.
Ketiga struktur partai yang dikemukakan oleh Surouf, yaitu party in the office, party in the government, dan party in the electorate, meskipun terpisah secara struktur namun ketiga struktur ini saling bersinergi membentuk sebuah organisasi partai politik yang kuat. ketiga struktur ini saling melengkapi satu sama lain dalam menjalankan peran partai untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perbedaaan partai politik dengan institusi politik lainnya, Surouf mengemukakan beberapa karakteristik yang membedakan partai politik dengan institusi politik lainya[8]. Setidaknya ada 5 poin yang dikemukakan oleh Surouf dalam menggambarkan karakteristik partai politik. Antara lain; (1) Komitmen pada aktivitas dalam pemilu, (2) Mobilisasi pendukung, (3)ketaatan pada jalur politik, (4) daya tahan, dan (5)simbol politik.
Komitment pada aktivitas dalam pemilu, adalah karakteristik yang paling membedakan partai politik dengan institusi politik lainnya. Dimana diantara institusi-institusi politik lainnya, hanya partai politik yang berhak untuk ikut bersaing dalam pemilu dan mencalonkankan kandidatnya dalam pemilu. Mobilisasi Pendukung; Partai dalam menjalankan komitmennya untuk berkontestasi dalam pemilu, tergantung pada kemampuannya untuk mempengaruhi dan memobilisasi massa pendukung. Semakin besar pendukung yang mampu mereka mobilisasi dalam pemilihan umum untuk memberikan suaranya, maka semakin besar pula kesempatan mereka dalam memenangkan pemilihan umum.
Ketaatan pada jalur politik; karakteristik lain yang menonjol dari partai politik adalah partai politik memberikan komitment secara penuh terhadap aktivitas politik. Mereka bekerja semata-mata hanya sebagai organisasi politik, semata-mata sebagai instrumen dari kegiatan politik. Daya tahan: partai politik juga ditandai dengan kemapuan mereka bertahan sebagai sebuah organisasi politik dan mempertahankan eksistensi mereka dalam sistem politik. Hal ini dimungkinkan karena organisasi partai politik sendiri diarahkan untuk menciptakan sebuah hubungan jangka panjang, dengan tujuan jangka panjang dan berkelanjutan. Berbeda dengan pressure group atau kelompok kepentingan yang biasanya diarahkan untuk sebuah tujuan jangka pendek.
Symbol politik; Partai politik berbeda dengan institusi politik lainnya, karena mereka beroperasi dibawah sebuah simbol yang menyaukan orang-orang dalam partai politik. Simbol ini biasanya dilambangkan dengan tanda gambar sebagai peserta pemilu. Keberadaan simbol dalam partai politik tida bisa diremehkan begitu saja perannya, karena simbol inilah yang membedakan partai politik dengan partai politik lainnya dalam pemilu (khususnya dalam kertas suara) dan merupakan objek loyalitas dari pendukung partai untuk menyalurkan dukungannya. Partai politik, juga sering disimbolkan lambang eksistensi dari sebuah kelompok masyarakat tertentu ataupun sebagai lambang kekuatan politik[9]. Selain karakteristik partai politik yang membedakan dengan institusi lainnya, hal yang juga bisa dilihat untuk membedakan partai politik dengan institusi politik lainnya adalah dengan melihat fungsi yang dijalankan oleh partai politik dalam sistem politik.
Para teoritisi demokrasi telah lama memperdebatkan keragaman peran dan fungsi dari partai politik. Kebanyakan para pemikir dan teoritisi liberal melihat partai politik sebagai sebuah esensi dari kehidupan demokrasi representatif[10]. Partai politik, melakukan beragam fungsi yang luas, seperti;menjadi perantara antara warga negara dan masyarakat, menominasikan kandidat, bersaing dalam pemilihan umum dan menyalurkan suara, mengatur jalannya pemerintahan, menyediakan akuntabilitas publik, dan manajemen konflik[11].
Fungsi partai sebagai perantara yang menghubungkan antara negara dan warga negara, merupakan fungsi yang fundamental dari partai politik dalam sebuah masyarakat atau negara yang demokatis. Mereka (partai politik) merupakan mekanisme perantara yang menghubungkan warga negara dengan pemerintah. Fungsi partai politik, adalah sebagai institusi yang membawa berbagai element publik yang berbeda-beda, secara bersama-sama menetapkan tujuan, dan bekerja secara kolektif untuk mengangkat tujuan tesebut agar bisa mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Partai terlibat dalam usaha untuk mengagregasikan kepentingan masyarakat, merangkum berbagai tuntutan yang berbeda, bersaing dalam pemilu, dan berusaha untuk mengorganisir pemerintahan. Selain sebagai perantara yang menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah, partai politik juga berperan untuk menominasikan kandidat, dimana dalam proses pemilihan umum, partai politik berperan dalam menentukan siapa nama yang akan dimunculkan dalam kertas pemilu. Dalam proses penetuan atau pencalonan kandidat ini, partai politik harus mengetahi, siapa diantara nama-nama yang ada yang paling di inginkan oleh pemilih. Proses pencalonan akan mengatur susunan pilihan untuk pemilih dan membatasi siapa yang pantas dipilih untuk untuk menduduki jabatan publik. Proses nominasi kandidat dalam partai politik sangat krusial, seperti yang dikemukakan oleh Scattschneider;
Unless the party makes authoritative and effective nominations, it cannot stay in bussines.....The nature of the nominating procedure determinies the nature of party, he who can make nominations is the owner of party.[12]
Kandidat yang dicalonkan partai partai politik dalam pemilu, secara dramatis bisa mempengaruhi prospek sebuah partai politik dalam pemilihan umum. Kandidat yang dinominasikan oleh partai politik, juga menentukan dalam bentuk dan kualitas pemerintahan yang dihasilkan dalam pemilihan umum, karena nantinya orang-orang yang dicalonkan oleh partailah yang akan menjalankan roda pemerintahan selama lima tahun kedepan.
Dalam pemilihan umum, partai politik bersaing dan menyalurkan suara, dimana partai politik memobilisasi masyarakat untuk menyalurkan suara atau pihan mereka. Ukuran keberhasilan partai politik dalam menjalankan fungsinya ini bisa dilihat dengan keberhasilannya merangkum berbagai kepentingan yang berbeda, masyarakat yang datang dari berbagai kalangan, dan berbagai keragaman budaya serta perilaku, untuk disatukan persepsinya dan memberikan dukungan pada satu partai tertentu. Dalam menjalankan fungsinya ini, partai politik tentu saja harus bersifat aktif dalam mempengaruhi dan mengakomodasi berbagai kalangan masyarakat dengan berbagai tuntutan untuk disatukan kedalam naungan parta politik.
Setelah berhasil melalui proses pemilihan umum, partai politik akan dihadapkan pada fungsi lainnya, yaitu mengatur jalannya pemerintahan. Dimana, jabatan-jabatan publik yang ada dalam negara yaitu jabtan-jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif akan diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai politik. Biasanya, partai dengan kemenangan mayoritas dalam pemilulah yang akan menguasai struktur dan jalannya pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya ini, partai politik tidak hanya berperan dalam mengelola pemerintahan tetapi juga berperan dalam menentukan kebijakan-kebjakan yang diperuntukkan untuk masyarakat warga negara. Disini partai akan merumuskan kebijakan-kebijakan dengan mengacu kepada tuntutan-tuntan yang bersal dari pendukungnya dan warga negara pada umumnya. Fungsi ini juga tentu sangat penting, karena berhasil atau tidaknya sebuah rezim pemerintahan akan ditentukan oleh kemampuan partai untuk mengatur jalannya pemerintahan.
Selain mengatur jalannya pemerintahan, partai politik juga berfungsi untuk menyediakan akuntabilitas publik. Dalam kehidupan demokrasi, pemerintah memisahkan kekuasan mereka dari masyarakat. Fred I. Grenstein dalam essainya menyarankan sebuah defenisi operasional yang sederhana bahwa “demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengontrol pemimpin mereka”[13]. Partai politik, memiliki fungsi untuk menyediakan alat bagi pemilih untuk memegang akuntabilitas dari pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat utamanya dalam usaha untuk membuat para pempin negara mendengarkan dan menjalnkan apa yang menjadi tuntutan warga negara. Disini partai berperan sebagai kontributor kepada masyarakat untuk mengntrol pemerintah, karena partai politik harus tetap menjaga hubungan dengan kostituennya dan pada saat yang bersamaan juga bisa merebut simpati dari dari masyarakat luas sehingga bisa terpilih kembali dalam pemilihan umum selanjutnya.
Partai politik, memberikan tawaran bagi para pemilih untuk memilih kandidat partai yang mereka sukai, yaitu partai yang menawarkan platform yang sesuai dengan tuntutan mereka. Karena semua pejabat publik dipilih dari pemilihan umum dan dicalonkan oleh partai, maka para pejabat publik yang ada dalam pemerintahan memiliki tanggung jawab moral bagi pendukungnya untuk mengangkat tuntutan mereka. Disisi lain, masyarakat juga bisa menekan partai untuk memberikan teguran atau melakukan recall kepada pejabat publik yang dianggap bermasalah dan tidak mewakili aspirasi para pendukungnya. Meskipun dalam pelaksanaannya, masyarakat sering tidak dapat mengontrol langsung jalannya pemerintahan, tetapi secara tidak langsung telah diberikan kesempatan untuk menetukan komposisi pemerintahan berdasarkan piihan mereka dalam pemilihan umum.
Fungsi terakhir dari partai politik adalah sebagai sarana manajemen konflik. Dimana dalam sebuah negara, banyak kepentingan yang saling bersaing dan bisa mengakibatkan timbulnya sebuah konflik. Partai politik menjadi sebuah sarana manajemen konflik, dimana kepentingan yang saling bersaing tersebut dirangkum oleh partai politik untuk kemudian diajukan sebagai sebuah kebijakan yang akan dihasilkan pemerintah. Partai politik menyediakan saluran-saluran representatif bagi kepentingan-kepentingan yang berbeda, sehingga kepentingan-kepentingan yang saling bersaing tersebut tidak berkembang menjadi konflk kepentingan yang bisa berakibat fatal dan mengganggu jalannya proses pemerintahan.
[1] Lihat Bibby (1992) “ Politics, Parties and Election In America” hlm 4
[2] “When Burke says party, he mean faction…….” Pendefeniasian Partai politik yang ambigu oleh Burke, mendapat kritikan yang cukup keras dari Sartori yang menganggap bahwa apa yang dkemukakan oleh Burke tidak jelas dan tidak bisa digunakan untuk membedakan Faksi dengan partai. Lihat Sartori. Opcit. Hlm10
[3] Bibby, Opcit. hlm 5
[4] Lihat Huckshorn 1984 “ Political Parties in America”. Hlm 8-9
[5] Huckson 1989. Ibid. Hlm 9
[6] ….“ Any political group identified by a given label that present at election, and its capable of placing trough election candidates for public office” lihat Sartori. Opcit. hlm 10
[7] Lihat Frank J. Surouf, 1980 “Party Politics In America” hal 9-13
[8] Lihat Surouf. Ibid. hlm 18-20
[9] Contohnya; PKB adalah symbol kekuatan politik dari masyarakat NU atau PAN sebagai symbol kekuatan politik dari masyaryakat muhammadiyah..
[10] seperti yangdi klaim dalam tulisan Scattschneider “modern democracy in mass societies is unworkable without prties”. Lihat Bibby. 1992. Opcit. Hal 10.
[11] Bibby.1992. Ibid, hlm 7-13
[12] lihat Bibby 1992, ibid. hlm 8
[13] Lihat Bibby. Ibid. hlm12

Dilema Dalam Tubuh Partai

Berakhirnya serangkaian hajatan demokrasi yang kita sebut dengan Pemilu, dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden untuk memimpin bangsa kita selama lima tahun kedepan, ternyata tidak mampu meredakan pertikaian dalam dunia politik. Meskipun sekarang skala atau besaran konflik itu menjadi lebih sempit, yaitu pada konflik internal dalam tubuh partai-partai. Issuenya, apalagi kalau bukan tentang struktur kepemimpinan dalam partai dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh oleh partai dalam mempersiapkan pemilu selanjutnya. Tema ini kemudian menjadi menarik, karena sepanjang pengamatan yang saya lakukan terhadap partai-partai yang bertikai, hampir semuanya memiliki kesamaan dalam pola konfliknya. Disini saya menemukan bahwa, dalam konflik internal partai-partai tersebut terbentuk dua kubu utama yaitu kubu kelompok pragmatist dan kubu kelompok ideologis, yang keduanya saling menyerang satu sama lain dengan konsep dan pandangan kepartaian mereka sendiri-sendiri.
Dari berbagai konflik internal partai yang terjadi sekarang ini, pola konflik antara kelopok pragmatist dan kelompok ideologis ini muncul menjadi sebuah pola yang dominan. Dimana kelompok pragmatist berusaha untuk membawa partai mempersiapkan diri untuk menghadap pemilu mendatang dengan menggalang pendukung dengan jumlah yang yang lebih besar lagi dengan melonggarkan batas-batas ideologi sehingga kapsitas partai dalam menyerap massa pendukung menjadi lebih besar. Dengan kata lain mendesak partai agar menjadi lebih inklusif dan terbuka menerima dukungan dari berbagai kalangan. Kelompok ideologis, berusaha untuk mempertahankan konstituentnya tetapi tanpa harus melepas simbol atau melonggarkan batas-batas ideologi yang menjadi landasan kepartaia mereka. Dengan kata lain berusaha untuk mempertahnkan dan mengembangkan eksistensi partainya tanpa harus meningalkan sisi eksusifnya. Kedua konsep inilah yang kemudian saling beradu dan menimbulkan pertikan dalam tubuh partai, baik itu dalam penentuan struktur kepemimpinan partai atau pun dalam persiapan partaimenhadapi pemilu selanjutnya.
Konflik antara kedua kubu ini terus berlangsung dan semakin menajam, sehingga tidak jarang menyebabkan memunculkan partai-paratai tandingan sebagai jawaban atas ketidak puasan kelompok yang merasa disingkirkan oleh sekelompok mayoritas yang berada dalam partai. Hal ini bisa dilihat pada saat pecahnya Partai Persatuan pembangunan dengan munculnya partai bintang reformasi. Hal ini terjadi karena sekelompok orang dalam tubuh PPP ingin tetap mempertahankan identitas eksklusif PPP sebagai partai islam, sedangkan kubu lain yang memiliki suara mayoritas berusaha untuk mengembangkan eksistensi partai dengan mencari dukungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan identitas eksklusif yang mereka sandang. Hal yang serupa juga terjadi pada Kongres PDIP dibali yang diselenggarakan beberapa waktu yang lalu. Dimana sekelompok orang beranggapan bahwa PDIP seharusnya menjadi partai yang inklusif untuk memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat, dengan konsekwensi harus melepaskan kepemimpinan Megawati yang dianggap terlalu eksklusif dan tidak populer lagi dalam masyarakat. Dengan kata lain, kubu pragmatis ini menginginkan PDIP menjadi partai yang inklusif dengan melepaskan simbol kepemimpinan yang eksklusif dan melonggarkan batas-batas ideologi sehingga mereka bisa memperluas janggakaun partai. Berbeda dengan kelompok pragmatis, kelompok ideologis lebih ingin mempertahankan eksistensi partai sebagai partai yang eksklusif dibawah simbol kepemimpina Megawati dan memperahankan konstituent yang loyal terhadap ideologi nasionalis yang menjadi asas pergerakan partai.
Uraian diatas mengambarkan betapa rumitnya konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai-partai yang terjadi. Disini terjadi sebuah dilema dalam tubuh partai itu sendiri, apakah mereka akan mempertahnkan idetitas mereka sebagai partai yang ekslusif dan disisi lain, mereka juga ingin memenangkan pemilu dengan memperoleh dukungan sebesar-besarnya dari pemilih, yang berrti mereka harus melepaskan identitas ekslusif mereka dan mejadi lebih inklusif, agar lebih akomodatif dalam mengatikulasikan berbagai kepentigan yang berbeda dari konstituennya.
Dilema inilah yang kemudian secara terus menerus menyebakan terjadi pertikaian yang tidak berkesudahan dalam tubuh partai. Tetapi partai juga harus memahai perubahan zaman dan peradaban dalam berpolitik masyarakat, dimana masyarakat sekarang sudah lebih mampu dan lebih bisa meihat mana partai yang terbaik bagi mereka, dan partai mana yang akan mereka dukung dalam pemilu nantinya. Jangan-jangan karena tidak mampu meyelesaikan konflik internal dalam partainya, mereka (partai-partai) malah kehilangan dukungan dari konstituentnya.

Jumat, 07 November 2008

Feminisme Vs Fashion

Memasuki tahun baru 2008, tentu saja membawa semangat baru. Semua orang menginginkan perubahan, menginginkan sesuatu yang baru dalam hidupnya, termasuk juga sebuah posisi dan peran yang baru atau lebih baik dalam dunia social. Semangat tahun baru ini juga seharusnya menginspirasi para pemikir dan penggiat gerakan perempuan untuk melahirkan sesuatu yang baru dan lebih baik pada tahun 2008 ini. Dalam artian menghasilkan pemikiran-pemikiran yang segara dan juga lebih baik tentang ideology dan gerakan perempuan. Bukannya menafikan pemikiran atau gerakan-gerakan yang sudah ada, tetapi menurut saya para pemikir dan penggiat gerakan perempuan harus menghasilkan sesuatu yang lebih sbstantif dalam pemikiran ataupun gerakan sosial yang digelutinya.
Harus diakui, bahwa gerakan perempuan sudah banyak menuai keberhasilan diberbagai bidang. Perempuan saat ini sudah tidak lagi terdomestikasi pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang mengakibatkan dirinya teralienasi dari dunia sosial. Perempuan saat ini sudah berada pada posisi yang lebih maju dan hampir setara dengan laki-laki dalam lingkungan sosial. Isu-isu seksis seputar spesialisasi pekerjaan, perlahan mulai memudar dan tergantikan dengan dengan jargon-jargon persamaan hak antara gender laki-laki dan perempuan. Bila kita perhatikan, maka sekarang banyak perempuan yang memimpin laki-laki ataupun melakukan pekerjaan laki-laki. Semua ini adalah dampak dari gerakan emansipasi yang digadang-gadangkan para pejuang gerakan perempuan.
Kondisi kesetaraan ini kemudian memunculkan kembali pertanyaan klasik yang selalu diajukan oleh kaum emansipatorik perempuan. Sudah setarakah posisi antara laki-laki dan perempuan? Khusus untuk jawaban dari pertanyaan ini, saya berani berkata dengan lantang bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum terwujud. Karena dalam duina sosial meskipun kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan mulai terwujud, namun kesadaran individu dan konstruksi sosial dalam identifikasi diri serta penyimbolan sebagai laki-laki dan perempuan masih masih menunjukkan hubungan dominasi yang kental, utamanya dalam hubungan antara subjek dan objek.
Konstruksi sosok perempuan dalam dunia sosial masih merujuk kepada sebuah tatanan simbolik dimana perempuan dikonstruksikan sebagai objek hasrat lelaki (phallus), dimana diskursus perempuan masih berpusat pada pengejewantahan diri perempuan yang menjadi oposisi biner dari sifat-sifat maskulin, sekaligus objek dari maskulinitas tersebut. Bukan hanya laki-laki yang menjadikan perempuan objek dari hasrat seksualnya, tetapi perempuan juga sebaliknya mengkonstruksikan subjektifitasnya sebagai subjek yang memiliki hasrat untuk menjadi objek phallic (hasrat laki-laki). Identitas diri yang terbangun pada diri seorang perempuan saat ini adalah identitas yang teridentifikasi pada phallic. Disinilah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan terjadi. Dalam dunia sosial, laki-laki (heteroseksual) menjadikan dan memandang perempuan sebagai perwujudan hasrat seksualnya, sedangkan perempuan mengidentifikaskan dirinya pada hasrat seksual laki-laki.
Perempuan dan Fashion
Mungkin pernyataan saya agak sedikit membingungkan, atau mungkin bagi sebagian orang akan terkesan mengada-ada. Akan tetapi, inilah realitas sosial yang berkembang dalam kebudayaan global (modern) saat ini. Meskipun isu-isu seputar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sangat intens dibicarakan, namun hal ini menjadi kurang berarti ketika melihat perilaku sosial masyarakat sebagai wujud dari orientasi kebudayaan masih menempatkan diri perempuan sebagai objek dari hasrat seksual laki-laki. Dalam tinjauan psikoanalisis dengan gaya Lacanian saya mencoba mengungkap tatanan simbolik dari diskursus tersebut dengan merujuk kepada fashion sebagai salah satu atribut penanda dari diskursus perempuan. Karena bagi saya, dalam fashion tidak ada gerakan emansipatorik yang menggerakkan emansipasi hak-hak perempuan. Sehingga dalam fashion, perempuan menjadi objek penderita dari eksploitasi kapitalisme, sekaligus wujud dari sebuah subjek yang dengan pasrah, atau bahkan dengan senang hati menjadikan diri sebagai objek hasrat lelaki.
Perhatikanlah perkembangan mode fashion dari dulu hingga sekarang. Dalam dunia fashion perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan mengalami distingsi yang sangat besar sebagai sebuah objek eksploitasi kapital yang sangat menguntungkan. Fashion untuk perempuan adalah sesuatu yang berbeda dengan fashion laki-laki. Fashion laki-laki selalu dituntut untuk menunjukkan sisi maskulinitas pemakainya, sedangkan fashion bagi perempuan selalu mengeksploitasi feminitas dari perempuan yang memakainya. Feminitas yang dimaksud disini adalah sensualitas dan seksualitas perempuan yang sengaja dieksploitasi dan ditonjolkan untuk meninggikan kesan perempuan bagi pemakainya. Hal ini bisa kita lihat dalam wujud model pakaian perempuan yang selalu berusaha menonjolkan sisi feminitas perempuan dengan menggunakan penanda-penanda seksualitas, seperti payudara, pinggul, bokong dan paha bahkan vagina. Coba bandingkan dengan fashion pria yang jarang sekali menonjolkan maskulinitas melalui eksploitasi alat kelamin laki-laki.
Dalam dunia fashion, tatanan simbolik perempuan dikonstruksi menjadi sebuah objek hasrat seksual laki-laki. Penonjolan-penonjolan alat kelamin perempuan dalam fashion menjadi penyebab sulitnya memisahkan konstruksi perempuan dari dunia phallic. Begitu juga dengan perluasan seksualitas perempuan yang tidak hanya ditujukan untuk kaum lelaki, namun juga ditujukan pada eksploitasi perempuan oleh kapitalisme. Seksualitas yang dulunya hanya terbatas pada vagina dan payudara, sekarang diperluas pada bagian-bagian tubuh yang lain seperti kulit, bibir, pantat dan paha. Bagian-bagian tubuh perempuan ini, dalam fashion mengalami eksploitasi yang luar biasa untuk dikembangkan menjadi penanda erotisme sensualitas untuk membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan menjadi liyan imajiner (diri yang lain) perempuan yang memungkinkan eksploitasi ekonomi terhadap diri perempuan dalam moda fashion seperti busana dan kosmetika.
Dalam dunia fashion perempuan dibentuk sedemikian rupa dalam tatanan kebudayaan popular untuk menjadi simbolisasi dan perwujudan hasrat laki-laki (Phallic). Hal ini dikontrol dengan penerapan sosialisasi melalui media dan penerapan norma dan nilai dalam budaya yang menempatkan perempuan sebagai sebuah objek, dimana hasrat perempuan adalah untuk menjadi objek hasrat laki-laki. Dalam artian, Hasrat perempuan disimbolisasikan dalam phallus. Hal ini bisa kita lihat dengan berbagai tatanan norma dan nilai dimana perempuan diharuskan tampil cantik dan seksi, yang merupakan sebuah bentuk konstruksi wacana yang berorientasi pada kedirian perempuan sebagai objek phallic.
Identifikasi diri perempuan pada hasrat laki-laki inilah yang mendorong perempuan memodifikasi diri dan mengeksploitasi erotisme sensualitas dan seksulitasnya dengan berbagai hal yang menyangkut perluasan fungsi seksualitas secara tidak sadar. Dikatakan tidak sadar, karena perempuan sendiri tidak tahu dan tidak mengerti apa yang menjadi dasar mereka berbuat seperti itu selain untuk tampil cantik atau seksi. Mereka tidak menyadari bahwa identifikasi diri semacam ini adalah wujud identifikasi diri perempuan terhadap hasrat seksual lelaki. Hal ini kemudian semakin disamarkan oleh pencitraan perempuan dalam media, serta sosialisasi nilai dan norma perempuan dalam masyarakat. Maka jadilah perempuan sebagai objek hasrat laki-laki dan sekaligus menjadi objek eksploitasi kapitalis tanpa sadar.

Perempuan dalam Patriarki dan phallosentrisme
Jika ditelusuri lebih jauh, maka persoalan tesebut bermuara pada kebudayaan patriarki yang menempatkan wanita pada posisi dimana dia berperan sebagai objek dari phallus. Disini wanita diberikan liyan imajiner yang merupakan idealisasi dari perwujudan perempuan sempurna untuk memenuhi hasrat seksual laki-laki. Menurut anda (para pembaca) kemanakah arah sensualitas dan seksualitas akan berakhir atau bermuara?. Walaupun hal tersebut kadang dikemas dengan berbagai attribut yang menyamarkan substansinya. Sehingga dalam prakteknya dalam kehidupan sosial, perempuan tidak merasa bertindak sebagai objek phallic tetapi bertindak atas subjektivitas dirinya sebagai perempuan. Hal ini dikarenakan oleh diskursus tentang perempuan selalu diusahakan untuk menyentuh hasrat narsistik seorang perempuan. Keadaan ini menjadikan perempuan sulit untuk lepas dari sudut pandang phallosentrisme yang melingkupinya.
Tatanan simbolik perempuan dalam dunia Phallic dikonstruksikan dengan berbagai atribut yang menyamarkan nilai phallic sebagai muara dari diskursus tersebut. Sensualitas, seksualitas serta erotisme perempuan dielaborasi dalam tataran dimana perempuan secara tidak sadar dikonstruksi menjadi objek phallic. Seperti dalam fashion dengan penonjolan sensulitas sebagai representasi dari alat kelamin dalam penyimbolan perempuan, ataupun perluasan alat kelamin perempuan yang secara tidak langsung diarahkan pada pemuasan hasrat laki-laki heteroseksual. Kulit yang mulus dan bibir yang indah dalam balutan gincu, atau gerak-gerak erotis dalam tarian yang berbalut seni, serta pakaian indah yang menonjolkan lekuk-lekuk seksualitas perempuan, merupakan penyamaran liyan imajiner perempuan bagi keinginannya terhadap phallus.
Konstruksi sosial yang sangat kuat ini, berlangsung di alam bawah sadar perempuan. Karena rasionalitas yang terbentuk dari hal tersebut tidak langsung diarahkan pada phallus, tetapi disamarkan dalam bentuk sensualitas dan erotisme sosial yang mengkonstruksikan perempuan. Sehingga perempuan sebagai objek phallus merasa diri sebagai subjek yang memiliki hasrat terhadap phallus. Hal inilah yang semakin mengokohkan partriarki dan phallosentrisme dalam dunia sosial sehingga menyebabkan perempuan menempatkan diri secara tak sadar dalam objek kehidupan seksual laki-laki. Jadilah hubungan yang tidak setara antara subjek dan objek yang membentuk realitas sosial yang ada, yang menjadikan posisi laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial menjadi tidak setara.
Memasuki tahun 2008, maka semestinyalah gerakan perempuan memperoleh semangat baru dan sekaligus ide baru. Semangat dan ide untuk melanjutkan gerakan perempuan yang telah ada sekaligus penyempurnaan gerakan-gerakan perempuan sebelumnya. Psikoanalisis seharusnya menjadi kajian utama bagi kaum feminisme yang ingin memperjuangkan kesetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki. Sebab kondisi setara tidak akan pernah bisa diciptakan sepanjang konstruksi sosial yang melingkupi kesadaran dan keberadaan (being) perempuan belum disetarakan pula.

KONFLIK DAN MANAJEMEN KONLIK LUWU

Kabupaten Luwu dan Luwu Utara adalah kabupaten yang terletak disebelah utara propinsi, sulawesi selatan. Kabupaten ini dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, baik itu disektor pertanian maupun sektor pertambangan. Tercatat salah satu tambang nikel terbesar di Indonesia berada didaerah tersebut. Daerah luwu, bukan saja dikenal karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, namun disamping itu, daerah ini juga dikenal karena daerah tersebut sering dilanda konflik yang cukup intens dengan skala yang bervariasi. Mulai dari perkelahian antar kelompok pemuda hingga perkelahian antara desa bahkan hingga berimbas pada kerusuhan antara agama.
Pada tenggang waktu antara tahun 1998 sampai dengan 2002, didaerah ini tercatat telah mengalami konflik dengan ferekuensi konflik yang cukup tinggi. Selama masa 1998 hingga 2002, telah terjadi kurang lebih 50 kasus konflik yang berskala cukup besar, mulai dari kerusuhan antara pemuda, hingga pertikaian antar desa yang melibatkan isu etnisitas dan agama. Tingkat kerusakan dari terjadinya kerusuhan dalam tenggat waktu 1998-2002, bisa dikatakan parah, karena banyaknya kerugian-kerugian material yang dialami penduduk, seperti perusakan rumah penduduk, fasilitas umum, fasilitas ibadah, lahan pertanian dan perkebunan, dan sebagainya. Kerugian yang terhitung selama tenggat waktu 1998-2002 akibat kerusuhan tersebut kurang lebih 180 milyar rupiah lebih.
Konflik yang terjadi ini, juga banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintah. Berbagaimacam usaha telah dilakukan pemerintah untuk mencegah dan meredam dampak dari konflik tersebut. Hal inilah yang kemudian menginspirasikan saya untuk melihat dan mempelajari penyebab konflik tersebut dan bagai mana usaha-usaha pemerintah daerah dan propinsi dalam menangani konflik tersebut.

Pertanyaan penelitian:
1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik antar masyarakat di kabupaten Luwu dan Luwu Utara ?.
2. Apa usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam manajemen konflik diwilayah tersebut.?
Awal Pecahnya Konflik.

Konflik dan pertikaian antar warga, sering melanda daerah Luwu antara tahun 1970-an hingga tahun 1990-an, dan sering kali melibatkan para penduduk lokal dengan para pendatang yang menetap didaerah tersebut. Pertikaian pertama pecah apada awal tahun 1976 yang melibatkan penduduk lokal dengan penduduk transmigrasi. Konflik ini terjadi didaerah yang berpenduduk padat yaitu kecamatan Bone-Bone, sedangkan daerah-daerah lain disekitarnya yang kurang padat tidak ikut terpengaruh dengan konflik ini. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1986, pertikaian kembali pecah kembali, kali ini melibatkan penduduk pendatang bugis dan toraja yang bersaing dalam membeli tanah untuk perkebunan kakao.
Pada tahun 1990-an, pertikaian yang terjadi kebanyakan disebabkan karena pertikaian antar gang pemuda. Hal ini banyak dipicu oleh kebiasaan pemuda setempat untuk berkumpul dan meminum minuman beralkohol bersama-sama.
Pada tahun 1998, kekerasan mengalami eskalasi secara luar bisa dalam frekuensi dan besarannya. Di berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Luwu dan luwu utara terjadi sekitar 40 sampai 50 insiden kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 sampai tahun 2002. Jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 1990 hingga tahun 1997 dimana hanya terjadi 15 perkelahian antara gang pemuda. Kekerasan yang bermula diawal tahun 1998 melibatkan pertikaian antar desa yang melibatkan seluruh penduduk desa. Kalangan pers nasional seringkali memotret pertikaian ini sebagai konflik komunal antara pendatang toraja dan pendatang bugis yang mencerminkan pertikaian antar agama yang melibatkan muslim dan kristen dalam pertikaian tersebut. Padahal permasalahan yang sebenarnya bukan karena persoalan agama tetapi lebih rumit, yaitu perebutan tanah, dan kecemburuan ekonomi dan sosial.

Konflik Tahun 1998-2002
Konflik yang terjadi antara tahun 1998 hingga tahun 2000 melibatkan 4 kecamatan besar dikabupaten Luwu dan Luwu Utara[1], yang merupakan tempat terjadi konflik kekerasan antar warga, yaitu : kecamatan Baebunta, Sabbang dan Malangke di Kabupaten Luwu Utara dan kecamatan Lamasi di kabupataen Luwu. Keempat kecamatan ini, memiliki karakteristik yang sama yaitu; memiliki pedesaan yang bercampur antara desa bugis yang mayoritas mesyarakatnya beragama islam dan desa toraja yang mayoritas masyarakatnya bergama kristen. Kebanyakan desa-desa yang terlibat pertikaian memiliki ciri tersebut diatas yang berupa keberagaman dimensi etnis, meskipun penyebab pertikaian tidak selalu berasal dari hal tersebut. Dalam beberapa kasus, perkelahian memang melibatkan antra penduduk asli dengan pendatang. Namun konflik kekerasan yang terjadi juga bisa antara gang pemuda yang ada dalam satu desa atau dengan desa yang lainnya yan tidak ada hubungannya dengan konflik etnik.

I. Konflik 1998.
Konflik awal yang terjadi di kecatamatan yang sekarang menjadi bagian dari kabupaten yang baru dibentuk yaitu Luwu utara, pecah ketika ketika terjadi pertikaian antar klub motor pemuda dari kecamatan Baebunta dan rongkong yang berasal dari desa sabbang dan salasa. Pada 12 september 1998 malam, ratusan pemuda dari Baebunta yang dipersenjatai dengan papporo[2], dan berbagai macam senjata tajam menyerang desa salasa. Dan permuda dari kecamatan rongkong kemudian turut membantu untuk membela pemuda dari desa salasa yang diserang orang orang-orang dari Baebunta. Ketika polisi mencoba meredakan insiden tersebut, warga dari kecamatan baebunta malah berbalik menyerang petugas kepolisian karena dianggap membantu pemuda dari kecamatan Rongkong. Polisi lokal yang diserang menjadi kewalahan untuk menanggulangi insiden tersebut, kemudian memanggil bala bantuan dari polres Palopo yang berjarak 70 Km dari kecamatan Baebunta. Untuk meredakan insiden tersebut, akhirnya pemerintah Kabupaten Luwu memerintahkan untuk menurunkan 3 kompi pasukan kepolisian dari polres Luwu dan Polda Makassar serta 1 SSK pasukan tentara dari Kodim 1403 Sawe Rigading. Konflik tersebut akhirnya reda setelah diadakan 4 jam penyisiran, meskipun tidak satupun dari kedua waga kecamatan yang bertikai ditangkap oleh aparat. Dalam kejadian awal ini tercatat 4 orang meninggal, 36 orang terluka parah dan 230 rumah ikut terbakar dalam peristiwa ini. Setidaknya 150 keluarga harus kehilangan tempat tinggal akibat insiden ini.
24 Oktober ditahun yang sama, pertikaian pecah lagi. Kali ini melibatkan pemuda dari desa Kalotok Kecamatan Sabbang, dengan pemuda dari desa Pongko kecamatan Lamasi. Kejadian ini dipicu oleh perkelahian antara dua orang pemuda dari kedua desa kalotok dan pongko dua hari sebelumnya. Ratusan pemuda dari kedua kecamatan Sabbang dan Lamasi dengan bersenjatakan Papporo, parang dan badik serta panah terlibat perkelahian sengit di jembatan yang berada pada perbatasan yang menghubungkan kedua kecamatan tersebut. Polisi dari kedua kecamatan tersebut yang diperkuat oleh bantuan dari tentara koramil berhasil meredakan konlik tersebut saat menjelang petang. Meskipun tidak ada yang tewas dalam insiden ini, namun sejumlah orang mengalami luka yang cukup parah. Dan akibat dari insiden ini, arus tranportasi trans Sulawesi lumpuh total selama dua hari.
Sekelompok pemuda yang mabuk dan terlibat perkelahian pada tanggal 16 November 1998, menyebakan pertikaian besar yang terjadi di lima desa yang berada di kecamatan Sabbang yang pecah pada 7 desember 1998. kelima desa tersebut antara lain ;Dandang, Kalotok, Pompaniki, Kampung baru dan Mari-mari. Desa Dandang adalah desa yang dihuni oleh penduduk etnis asli Luwu yaitu etnis To Ala yang beragama islam, sedangkan kempat desa lainnya dihuni oleh penduduk yang mayoritas adalah etnis pendatang toraja, yang berasal dari Bastem dan Rongkong dan mayoritas beragama kristen. Dari semua konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu Antara tahun 1998 hingga 2002, inilah konflik yang paling besar. Untuk menangani konflik ini dibutuhkan polisi dari Polres Luwu dan Polda Makassar, tentara yang berasal dari Kodim 1403 Sawerigading dan Brimob yang berasal dari kotamadya Pare-Pare. Setidaknya 500 lebih pasukan gabungan yang turunkan untuk melakukan penyisiran ditiap rumah dalam usaha untuk mencari senjata-senjata yang bisa digunakan pada saat konflik. Pasukan ini juga di tempatkan di Pos-pos setempat yang dianggap rawan unutuk mencegah pecahnya perkelahian antar warga. Dibutuhkan setidak tiga hari bagi para petugas keamanan untuk meredakan pertikaian ini dan mengendalikan suasana. Dalam kejadian ini, tiga orang dilaporkan meninggal dunia dan 42 rumah hangus terbakar. Ratusan migran etnis toraja terpaksa meninggalkan rumah mereka karena di isiukan akan dibunuh oleh penduduk etnik lokal.
Konflik kekerasan terus berlangsung di kecamatan Sabbang dan Lamasi sampai pertengahan tahun 1999, yang menyebabkan 26 orang tewas dan 400 rumah dihancurkan. Ratusan etnis toraja harus pindah ke daerah tetangga yang mayoritas beragama kristen yaitu Kabupaten Toraja, hal inilah yang memberi dimensi bahwa pertikaian tersebut merupakan pertikaian agama antara warga muslim dan kristen.
II. Konflik 1999-2001.
Konflik kekerasan pecah lagi antara pemuda dari kecamatan Baebunta dan Rongkong yang berasal dari desa salasa dan sabbang pada 29 desember 1999. Penduduk dari Desa Radda ikut membantu pemuda dari sabbang dan perpecahan terjadi dan meluas di kecamatan Baebunta. Pertikaian ini akhirnya meluas ke 4 desa yang berada dikecamatan Baebunta, dimana masyarakat Baebunta menginginkan agar semua pendatang dari Rongkong yang berdomisili di Baebunta meninggalkan daerah tersebut, meskipun etnis Rongkong telah bermukim didaerah tersbut sejak tahu 1954. Orang Baebunta menganggap etnis Rongkong adalah etnis yang suka membuat masalah. Konflik ini kemudian mereda setelah panglima Kodam VII Wirabuana turun tangan untuk menyelesaikan daerah tersebut.
Pada tanggal 4 dan 5 januari 2000, konflik kembali terjadi. Kali ini terjadi di Kecamatan Lamasi, yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 101 rumah musnah dibakar oleh kelompok yang bertikai. Beberapa hari kemudian, konflik ini meluas ke desa Wara dan Desa Cenning yang berada di kecamatan Malangke barat yang memang bersebelahan dengan kecamatan lamasi. Sejumlah orang dilaporkan cidera dalam kejadian ini, 143 rumah juga ikut terbakar dalam kejadian ini termasuk 3 rumah ibadah milik warga muslim dan kristen. Ribuan orang mengungsi kedaerah-daerah sekitarnya, utamanya kedaerah Masamba dan Palopo yang masing-masing merupakan ibukota kabupaten dari Luwu Utara dan Luwu.
Pada bulan agustus 2001 tepatnya pada tanggal 12, pertikaian pecah lagi antara pemuda dari desa cenning dan Waelawi. Desa cenning merupakan desa dengan komposisi penduduk etnis pendatang Toraja yang besar, sementara desa Waelawi kebanyakan di huni oleh penduduk etnis To Wara yang merupakan etnis asli luwu. Setidaknya 500 orang polisi duturunkan dalam kejadian ini. Meskipun tidak ada korban yang jatuh dari pihak yang bertikai, namun dilaporkan bahwa seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tewas diterjang peluru salah sasaran aparat yang berusaha meredakan pertikaian tersebut.
Dikecamatan Padang Sappa, juga terjadi konflik antar warga yang melibatkan warga desa Padang Sappa dan warga desa Buntu Karya yang terjadi pada tangal 29 Agustus 2001. kerusuhan antar warga ini mengakibatkan sedikitnya 9 orang tewas dan dan 73 rumah warga mengalami kerusakan. Pertikaian ini juga dipicu oleh pertikaian gang antara pemuda dari kedua desa yang bertikai. Dalam mencegah meluasnya pertikaian ini, pemerintah setempat melakukan usaha rekonsiliasi dengan mempertemukan warga yang bertikai, dengan difasilitasi oleh pemerintah dengan aparat keamanan setempat.
III. Konflik Tahun 2002
Awal tahun 2002, kembali ditandai dengan pecahnya pertikaian antar desa di kecamatan Malangke Timur Kabupaten Luwu Utara. Pertikaian ini dipicu oleh sejumlah pemuda di dusun Cappasolo, Buloe, dan padang di desa Benteng Kecamatan Malangke Timur. Para pemuda dari dusun Padang dan Buloe merasa tidak terima ketika teman mereka di tebas parang oleh seseorang di dusun Cappasolo pada tanggal 12 Maret 2002. Warga Cappasolo sebagian besar merupakan etnis Toraja dan Bastem, sedangkan warga dusun Buloe dan Padang didominasi oleh etnis asli Luwu yaitu to’ Ware. Untuk meredakan konflik ini, pamerintah kecamatan dan desa mengumpulkan para tetua masyarakat dari ketiga lingkungan tersebut, untuk membicarakan langkah-langkah untuk mencegah kejadian lebih lanjut. Namun dua hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya tanggal 16 maret, sebuah gudang padi di Cappasolo dibakar oleh sekelompok warga yang marah. Pada tanggal 17 maret pagi, serangan kembali terjadi, kali ini dilakukan oleh warga dari dusun Cappasolo yang kemudian membakar 4 rumah warga yang berada didusun Buloe dan Padang. Pertikaian ini kembali bisa diredakan oleh polisi yang kemudian dilanjutkan dengan penyusuran rumah warga dari ketiga dusun untuk melakukan razia senjata tajam dan senjata api rakitan yang berlangsung selama dua hari. Dan akhirnya pada tangga 27 maret 2002 pemerintah memfasilitasi para tokoh masyarakat dari ketiga dusun tersebut dipertemukan dalam sebuah upaya rekonsiliasi untuk menciptakan perdamaian antara ketiga dusun tersebut.
Tiga bulan setelah peristiwa tersebut, Pertikaian warga dusun Cappasolo, Padang dan Buloe Kembali pecah. Tepatnya tanggal 16 juni 2002. pertikaian ini dipicu oleh ditolaknya permintaan warga Cappasolo untuk memperoleh ganti rugi dari warga dusun Buloe dan Padang atas pertikaian sebelumnya, senilai 10 juta rupiah. Pada hari berikutnya, warga dari dusun Buloe dan Padang malah menyerang warga dusun Cappasolo yang mengakibatkan 3 orang tewas dan 58 rumah rusak berat. Dalam kejadian ini, lebih dari 1000 orang dari dusun Cappasolo mengungsi kekota palopo untuk mencari perlidungan. Kerugian material yang diderita warga akibat pertikaian ini di taksi sekitar 16 miliar rupiah. Untuk mencegah kejadian selanjutnya, pemerintah Kabupaten Luwu Utara kemudian menempatkan pos jaga di Dusun Cappasolo yang diperkuat oleh dukungan 100 personil dari kepolisian setempat.
Pada bulan September, pertikaian antar warga kembali pecah di kabupaten Luwu Utara. Kali ini terjadi di kecamatan Baebunta tepatnya didusun Karombing. Pertikaian ini bermula dari issu bahwa warga dusun Karombing akan menyerang warga Dusun Tobua. Issu ini ditanggapi oleh 300 orang warga dusun Tobua dengan mendatangi dusun Karombing dan membakar 29 rumah yang ada disana, pertikaian berlanjut ketika warga dusun Karombing melakukan perlawanan dan mengejar warga dusun Tobua yang menyerang dusun mereka. Pengejaran mereka berlanjut hingga kedusun Tobua. Disini warga Dusun Karombing membakar 8 rumah. Korban tewas akibat kejadian ini tercatat ada 2 orang.

Penyebab Konflik.
Berbeda dengan yang diisukan oleh beberapa lembaga pers, pertikaian yang terjadi di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, bukanlah pertikaian antara kelompok agama khususnya Muslim dan Kristen. Pertikaian ini lebih disebabkan akibat perebutan tanah, masalah sosial dan lemahnya institusi dalam melakukan tindakan prepentif untuk mencegah terjadinya pertikaian.
Masalah perebutan tanah mejadi pola dominan dalam penyebab pertiakaian antara warga masyarakat di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Hal ini disebabkan banyaknya warga imigran yang berasal dari kabupaten Toraja yang membuka lahan untuk menanam kakao di beberapa daerah di kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Pada awalnya, hal ini tidak pernah menjadi masalah. Namun seiring dengan meningkatnya harga kakao, penduduk asli mulai mempersoalkan hal tersebut. Diperparah lagi dengan tidak lengkapnya surat-surat tanah yang dimiliki oleh para pemilik ladang kakao. Dari persoalan klaim tanah inilah kemudian pertikaian bermula dan kadangkala menglami eskalasi yang cukup besar sehingga lebih kelihatan seperti pertikaian antara etnis atau pertikaian antar agama.
Masalah lain yang sering memicu pertikaian antara warga adalah adanya budaya geng-gengan dikalangan pemuda yang berada didesa. Hampir disetiap dusun terdapat gang pemuda yang merupakan perkumpulan dari pemuda setempat. Kebiasaan geng-gengan dikalangan pemuda ini diperparah lagi dengan kebiasaan meminum minuman keras dikalangan pemuda. Hal lain yang sering memicu atau menyebabkan eskalasi ketika terjadi pertiakain antar warga, adalah semangat atau loyalitas terhadap etnis dan kampung yang sangat tinggi. Sehingga persoalan kecil saja bisa memicu kemarahan warga sebuah desa.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah perbedaan perekonomian yang sangat mencolok antara warga pendatang dengan penduduk asli. Dimana kebanyakan warga pendatang menguasai perekonomian di beberapa daerah yang ada di Kabupaten Luwu dan Luwu utara. Hal inilah yang juga menyebabkan rasa iri para penduduk asli, sehingga dengan sengaja sering memicu pertikaian dengan warga pendatang yang umumnya kaya.
Usaha Yang Ditempuh Dalam Menyelesaikan Konflik.
Untuk menyelesaikan pertikain antar warga yang terjadi, berbagai usaha telah ditempuh oleh pemerintah Kabupaten Luwu dan Luwu Utara yang bekerja sama dengan aparat keamanan baik itu dengan aparat kepolisian maupun dengan tentara. Hal ini semata-mata ditempuh untuk menekan jumlah korban dan kerugian yang diderita oleh masyarakat, serta menciptakan perasaan aman dalam masyarakat. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa akibat konflik kekerasan antar warga, banyak warga yang merasa trauma akan terjadinya konfik kekerasan ditempat mereka.
Salah satu usaha yang paling sering ditempuh untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara adalah dengan melakukan Rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang dilakukan adalah dengan mempertemukan atau memfasilitasi pihak-pihak yang beertikai untuk duduk bersama dan saling berdiskusi untuk mencari jalan penyelesaian bagi persoalan yang mereka hadapi. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengundang para tokoh masyarakat dari kedua kelompok yang saling bertikai untuk berbicara dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Usaha rekonsiliasi, paling sering digunakan untuk menyelesaikan konflik antar warga di kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Usaha ini dianggap efektif dan mampu meredakan serta menyelesaikan konflik kekerasan yang sering terjadi di wilayah itu. hampir semua konflik diselesaikan dengan usah rekonsiliasi, misalnya konflik yang terjadi diwilayah Baebunta, Lamasi, Rongkong, Malangke, dan Malangke Utara. Usaha rekonsiliasi ternyata cukup efektif dalam meredakan dan menyelesaikan pertikaian antara warga ini.
Usaha penyelesaian konflik lain yang pernah digunakan adalah Represi. Represi ini dilakukan dengan mengejar dan menangkap pelaku-pelaku konflik kekerasan ataupun pihak-pihak yang dianngap terlibat dalam pertikaian tersebut. Hal ini biasanya dilakukan pada konflik kekerasan dengan skala yang cukup besar, dan tidak bisa lagi diselesaikan dengan jalan rekonsiliasi. Usaha-usaha resolusi konflik dengan jalan represi ini pernah dilakukan pada saat pecahnya pertikaian antar warga di sabbang, pada tanggal 16 nopember 1998. Usaha represi ini ditempuh karena dianggap usaha rekonsiliasi sudah tidak mampu lagi menyelesaikan pertikaian ini. Ini terbukti dengan terus terulangnya peristiwa pertkaian anatar warga di kecamatan Sabbang. Usaha represi lain dilakukan pada peristiwa perkelahian antar warga dusun yang terjadi dikecamatan buloe. Usaha ini juga ditempuh karena berbagai usaha rekonsiliasi sebelumnya tidak berjalan dengan baik, yang dibuktikan dengan terjadinya 3 peristiwa bentrok anatar warga dalam waktu sebulan. Usaha-usaha penyelesaian konflik dengan jalan represi, melibatkan aparat keamanan yang merupakan gabungan dari polisi yang berasal dari Polresta Luwu dan Polda Makassar, Brimob Pare-pare dan tentara dari Kodim 1403 Sawerigading dan Korem setempat.






Daftar pustaka
Deng, Francis M & Zartman, I. William . 1991. “Conflict Resolution In Africa” Brookings Institution Press, Washington D. C.
Zartman I. William. 1997 “ Governance as Conflict Management; Politics And Violence In West Africa”. Brookings Insttution Press, Washington D.C.
Artikel:
ICG Asia Report No. 60/18 july 2003 “Indonesia; ManagingDecentralization And Conflict In south Sulawesi”
Bina Baru, 11 desember 1998. “Perang di Luwu Gunakan 12 macam Senjata, Palopo Selatan di isukan akan diserang”
Fajar, 15 september 1998. “ Sudah 4 tewas, 36 luka dan 230 rumah dibakar”
Kompas, 25 Juni 2000 “Luwu utara lautan api”
Koran Tempo, 21 juni 2002. “Dua dusun di Luwu masih tetap mencekam”
Pedoman Rakyat, 13 desember 2003. “Rusuh du Luwu, Baebunta jadi lautan api “
_____________, 25 oktober 1998. “erang kelompok di perbatasan Lamasi-Sabbang”
[1] Pada awal tahun 1999, kabupaten Luwu mengalami pemekaran, membagi kabupaten tersebut menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Luwu dan Luwu Utara.
[2] Papporo adalah senjata rakitan yang dibuat dari Pipa baja yang diisi dengan korek api dan berbagai macam serpihan logam seperti eger, potongan besi cord an lain-lain.