Sabtu, 08 November 2008

Dilema Dalam Tubuh Partai

Berakhirnya serangkaian hajatan demokrasi yang kita sebut dengan Pemilu, dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden untuk memimpin bangsa kita selama lima tahun kedepan, ternyata tidak mampu meredakan pertikaian dalam dunia politik. Meskipun sekarang skala atau besaran konflik itu menjadi lebih sempit, yaitu pada konflik internal dalam tubuh partai-partai. Issuenya, apalagi kalau bukan tentang struktur kepemimpinan dalam partai dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh oleh partai dalam mempersiapkan pemilu selanjutnya. Tema ini kemudian menjadi menarik, karena sepanjang pengamatan yang saya lakukan terhadap partai-partai yang bertikai, hampir semuanya memiliki kesamaan dalam pola konfliknya. Disini saya menemukan bahwa, dalam konflik internal partai-partai tersebut terbentuk dua kubu utama yaitu kubu kelompok pragmatist dan kubu kelompok ideologis, yang keduanya saling menyerang satu sama lain dengan konsep dan pandangan kepartaian mereka sendiri-sendiri.
Dari berbagai konflik internal partai yang terjadi sekarang ini, pola konflik antara kelopok pragmatist dan kelompok ideologis ini muncul menjadi sebuah pola yang dominan. Dimana kelompok pragmatist berusaha untuk membawa partai mempersiapkan diri untuk menghadap pemilu mendatang dengan menggalang pendukung dengan jumlah yang yang lebih besar lagi dengan melonggarkan batas-batas ideologi sehingga kapsitas partai dalam menyerap massa pendukung menjadi lebih besar. Dengan kata lain mendesak partai agar menjadi lebih inklusif dan terbuka menerima dukungan dari berbagai kalangan. Kelompok ideologis, berusaha untuk mempertahankan konstituentnya tetapi tanpa harus melepas simbol atau melonggarkan batas-batas ideologi yang menjadi landasan kepartaia mereka. Dengan kata lain berusaha untuk mempertahnkan dan mengembangkan eksistensi partainya tanpa harus meningalkan sisi eksusifnya. Kedua konsep inilah yang kemudian saling beradu dan menimbulkan pertikan dalam tubuh partai, baik itu dalam penentuan struktur kepemimpinan partai atau pun dalam persiapan partaimenhadapi pemilu selanjutnya.
Konflik antara kedua kubu ini terus berlangsung dan semakin menajam, sehingga tidak jarang menyebabkan memunculkan partai-paratai tandingan sebagai jawaban atas ketidak puasan kelompok yang merasa disingkirkan oleh sekelompok mayoritas yang berada dalam partai. Hal ini bisa dilihat pada saat pecahnya Partai Persatuan pembangunan dengan munculnya partai bintang reformasi. Hal ini terjadi karena sekelompok orang dalam tubuh PPP ingin tetap mempertahankan identitas eksklusif PPP sebagai partai islam, sedangkan kubu lain yang memiliki suara mayoritas berusaha untuk mengembangkan eksistensi partai dengan mencari dukungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan identitas eksklusif yang mereka sandang. Hal yang serupa juga terjadi pada Kongres PDIP dibali yang diselenggarakan beberapa waktu yang lalu. Dimana sekelompok orang beranggapan bahwa PDIP seharusnya menjadi partai yang inklusif untuk memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat, dengan konsekwensi harus melepaskan kepemimpinan Megawati yang dianggap terlalu eksklusif dan tidak populer lagi dalam masyarakat. Dengan kata lain, kubu pragmatis ini menginginkan PDIP menjadi partai yang inklusif dengan melepaskan simbol kepemimpinan yang eksklusif dan melonggarkan batas-batas ideologi sehingga mereka bisa memperluas janggakaun partai. Berbeda dengan kelompok pragmatis, kelompok ideologis lebih ingin mempertahankan eksistensi partai sebagai partai yang eksklusif dibawah simbol kepemimpina Megawati dan memperahankan konstituent yang loyal terhadap ideologi nasionalis yang menjadi asas pergerakan partai.
Uraian diatas mengambarkan betapa rumitnya konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai-partai yang terjadi. Disini terjadi sebuah dilema dalam tubuh partai itu sendiri, apakah mereka akan mempertahnkan idetitas mereka sebagai partai yang ekslusif dan disisi lain, mereka juga ingin memenangkan pemilu dengan memperoleh dukungan sebesar-besarnya dari pemilih, yang berrti mereka harus melepaskan identitas ekslusif mereka dan mejadi lebih inklusif, agar lebih akomodatif dalam mengatikulasikan berbagai kepentigan yang berbeda dari konstituennya.
Dilema inilah yang kemudian secara terus menerus menyebakan terjadi pertikaian yang tidak berkesudahan dalam tubuh partai. Tetapi partai juga harus memahai perubahan zaman dan peradaban dalam berpolitik masyarakat, dimana masyarakat sekarang sudah lebih mampu dan lebih bisa meihat mana partai yang terbaik bagi mereka, dan partai mana yang akan mereka dukung dalam pemilu nantinya. Jangan-jangan karena tidak mampu meyelesaikan konflik internal dalam partainya, mereka (partai-partai) malah kehilangan dukungan dari konstituentnya.

Tidak ada komentar: