Jumat, 07 November 2008

KONFLIK DAN MANAJEMEN KONLIK LUWU

Kabupaten Luwu dan Luwu Utara adalah kabupaten yang terletak disebelah utara propinsi, sulawesi selatan. Kabupaten ini dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, baik itu disektor pertanian maupun sektor pertambangan. Tercatat salah satu tambang nikel terbesar di Indonesia berada didaerah tersebut. Daerah luwu, bukan saja dikenal karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, namun disamping itu, daerah ini juga dikenal karena daerah tersebut sering dilanda konflik yang cukup intens dengan skala yang bervariasi. Mulai dari perkelahian antar kelompok pemuda hingga perkelahian antara desa bahkan hingga berimbas pada kerusuhan antara agama.
Pada tenggang waktu antara tahun 1998 sampai dengan 2002, didaerah ini tercatat telah mengalami konflik dengan ferekuensi konflik yang cukup tinggi. Selama masa 1998 hingga 2002, telah terjadi kurang lebih 50 kasus konflik yang berskala cukup besar, mulai dari kerusuhan antara pemuda, hingga pertikaian antar desa yang melibatkan isu etnisitas dan agama. Tingkat kerusakan dari terjadinya kerusuhan dalam tenggat waktu 1998-2002, bisa dikatakan parah, karena banyaknya kerugian-kerugian material yang dialami penduduk, seperti perusakan rumah penduduk, fasilitas umum, fasilitas ibadah, lahan pertanian dan perkebunan, dan sebagainya. Kerugian yang terhitung selama tenggat waktu 1998-2002 akibat kerusuhan tersebut kurang lebih 180 milyar rupiah lebih.
Konflik yang terjadi ini, juga banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintah. Berbagaimacam usaha telah dilakukan pemerintah untuk mencegah dan meredam dampak dari konflik tersebut. Hal inilah yang kemudian menginspirasikan saya untuk melihat dan mempelajari penyebab konflik tersebut dan bagai mana usaha-usaha pemerintah daerah dan propinsi dalam menangani konflik tersebut.

Pertanyaan penelitian:
1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik antar masyarakat di kabupaten Luwu dan Luwu Utara ?.
2. Apa usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam manajemen konflik diwilayah tersebut.?
Awal Pecahnya Konflik.

Konflik dan pertikaian antar warga, sering melanda daerah Luwu antara tahun 1970-an hingga tahun 1990-an, dan sering kali melibatkan para penduduk lokal dengan para pendatang yang menetap didaerah tersebut. Pertikaian pertama pecah apada awal tahun 1976 yang melibatkan penduduk lokal dengan penduduk transmigrasi. Konflik ini terjadi didaerah yang berpenduduk padat yaitu kecamatan Bone-Bone, sedangkan daerah-daerah lain disekitarnya yang kurang padat tidak ikut terpengaruh dengan konflik ini. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1986, pertikaian kembali pecah kembali, kali ini melibatkan penduduk pendatang bugis dan toraja yang bersaing dalam membeli tanah untuk perkebunan kakao.
Pada tahun 1990-an, pertikaian yang terjadi kebanyakan disebabkan karena pertikaian antar gang pemuda. Hal ini banyak dipicu oleh kebiasaan pemuda setempat untuk berkumpul dan meminum minuman beralkohol bersama-sama.
Pada tahun 1998, kekerasan mengalami eskalasi secara luar bisa dalam frekuensi dan besarannya. Di berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Luwu dan luwu utara terjadi sekitar 40 sampai 50 insiden kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 sampai tahun 2002. Jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 1990 hingga tahun 1997 dimana hanya terjadi 15 perkelahian antara gang pemuda. Kekerasan yang bermula diawal tahun 1998 melibatkan pertikaian antar desa yang melibatkan seluruh penduduk desa. Kalangan pers nasional seringkali memotret pertikaian ini sebagai konflik komunal antara pendatang toraja dan pendatang bugis yang mencerminkan pertikaian antar agama yang melibatkan muslim dan kristen dalam pertikaian tersebut. Padahal permasalahan yang sebenarnya bukan karena persoalan agama tetapi lebih rumit, yaitu perebutan tanah, dan kecemburuan ekonomi dan sosial.

Konflik Tahun 1998-2002
Konflik yang terjadi antara tahun 1998 hingga tahun 2000 melibatkan 4 kecamatan besar dikabupaten Luwu dan Luwu Utara[1], yang merupakan tempat terjadi konflik kekerasan antar warga, yaitu : kecamatan Baebunta, Sabbang dan Malangke di Kabupaten Luwu Utara dan kecamatan Lamasi di kabupataen Luwu. Keempat kecamatan ini, memiliki karakteristik yang sama yaitu; memiliki pedesaan yang bercampur antara desa bugis yang mayoritas mesyarakatnya beragama islam dan desa toraja yang mayoritas masyarakatnya bergama kristen. Kebanyakan desa-desa yang terlibat pertikaian memiliki ciri tersebut diatas yang berupa keberagaman dimensi etnis, meskipun penyebab pertikaian tidak selalu berasal dari hal tersebut. Dalam beberapa kasus, perkelahian memang melibatkan antra penduduk asli dengan pendatang. Namun konflik kekerasan yang terjadi juga bisa antara gang pemuda yang ada dalam satu desa atau dengan desa yang lainnya yan tidak ada hubungannya dengan konflik etnik.

I. Konflik 1998.
Konflik awal yang terjadi di kecatamatan yang sekarang menjadi bagian dari kabupaten yang baru dibentuk yaitu Luwu utara, pecah ketika ketika terjadi pertikaian antar klub motor pemuda dari kecamatan Baebunta dan rongkong yang berasal dari desa sabbang dan salasa. Pada 12 september 1998 malam, ratusan pemuda dari Baebunta yang dipersenjatai dengan papporo[2], dan berbagai macam senjata tajam menyerang desa salasa. Dan permuda dari kecamatan rongkong kemudian turut membantu untuk membela pemuda dari desa salasa yang diserang orang orang-orang dari Baebunta. Ketika polisi mencoba meredakan insiden tersebut, warga dari kecamatan baebunta malah berbalik menyerang petugas kepolisian karena dianggap membantu pemuda dari kecamatan Rongkong. Polisi lokal yang diserang menjadi kewalahan untuk menanggulangi insiden tersebut, kemudian memanggil bala bantuan dari polres Palopo yang berjarak 70 Km dari kecamatan Baebunta. Untuk meredakan insiden tersebut, akhirnya pemerintah Kabupaten Luwu memerintahkan untuk menurunkan 3 kompi pasukan kepolisian dari polres Luwu dan Polda Makassar serta 1 SSK pasukan tentara dari Kodim 1403 Sawe Rigading. Konflik tersebut akhirnya reda setelah diadakan 4 jam penyisiran, meskipun tidak satupun dari kedua waga kecamatan yang bertikai ditangkap oleh aparat. Dalam kejadian awal ini tercatat 4 orang meninggal, 36 orang terluka parah dan 230 rumah ikut terbakar dalam peristiwa ini. Setidaknya 150 keluarga harus kehilangan tempat tinggal akibat insiden ini.
24 Oktober ditahun yang sama, pertikaian pecah lagi. Kali ini melibatkan pemuda dari desa Kalotok Kecamatan Sabbang, dengan pemuda dari desa Pongko kecamatan Lamasi. Kejadian ini dipicu oleh perkelahian antara dua orang pemuda dari kedua desa kalotok dan pongko dua hari sebelumnya. Ratusan pemuda dari kedua kecamatan Sabbang dan Lamasi dengan bersenjatakan Papporo, parang dan badik serta panah terlibat perkelahian sengit di jembatan yang berada pada perbatasan yang menghubungkan kedua kecamatan tersebut. Polisi dari kedua kecamatan tersebut yang diperkuat oleh bantuan dari tentara koramil berhasil meredakan konlik tersebut saat menjelang petang. Meskipun tidak ada yang tewas dalam insiden ini, namun sejumlah orang mengalami luka yang cukup parah. Dan akibat dari insiden ini, arus tranportasi trans Sulawesi lumpuh total selama dua hari.
Sekelompok pemuda yang mabuk dan terlibat perkelahian pada tanggal 16 November 1998, menyebakan pertikaian besar yang terjadi di lima desa yang berada di kecamatan Sabbang yang pecah pada 7 desember 1998. kelima desa tersebut antara lain ;Dandang, Kalotok, Pompaniki, Kampung baru dan Mari-mari. Desa Dandang adalah desa yang dihuni oleh penduduk etnis asli Luwu yaitu etnis To Ala yang beragama islam, sedangkan kempat desa lainnya dihuni oleh penduduk yang mayoritas adalah etnis pendatang toraja, yang berasal dari Bastem dan Rongkong dan mayoritas beragama kristen. Dari semua konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu Antara tahun 1998 hingga 2002, inilah konflik yang paling besar. Untuk menangani konflik ini dibutuhkan polisi dari Polres Luwu dan Polda Makassar, tentara yang berasal dari Kodim 1403 Sawerigading dan Brimob yang berasal dari kotamadya Pare-Pare. Setidaknya 500 lebih pasukan gabungan yang turunkan untuk melakukan penyisiran ditiap rumah dalam usaha untuk mencari senjata-senjata yang bisa digunakan pada saat konflik. Pasukan ini juga di tempatkan di Pos-pos setempat yang dianggap rawan unutuk mencegah pecahnya perkelahian antar warga. Dibutuhkan setidak tiga hari bagi para petugas keamanan untuk meredakan pertikaian ini dan mengendalikan suasana. Dalam kejadian ini, tiga orang dilaporkan meninggal dunia dan 42 rumah hangus terbakar. Ratusan migran etnis toraja terpaksa meninggalkan rumah mereka karena di isiukan akan dibunuh oleh penduduk etnik lokal.
Konflik kekerasan terus berlangsung di kecamatan Sabbang dan Lamasi sampai pertengahan tahun 1999, yang menyebabkan 26 orang tewas dan 400 rumah dihancurkan. Ratusan etnis toraja harus pindah ke daerah tetangga yang mayoritas beragama kristen yaitu Kabupaten Toraja, hal inilah yang memberi dimensi bahwa pertikaian tersebut merupakan pertikaian agama antara warga muslim dan kristen.
II. Konflik 1999-2001.
Konflik kekerasan pecah lagi antara pemuda dari kecamatan Baebunta dan Rongkong yang berasal dari desa salasa dan sabbang pada 29 desember 1999. Penduduk dari Desa Radda ikut membantu pemuda dari sabbang dan perpecahan terjadi dan meluas di kecamatan Baebunta. Pertikaian ini akhirnya meluas ke 4 desa yang berada dikecamatan Baebunta, dimana masyarakat Baebunta menginginkan agar semua pendatang dari Rongkong yang berdomisili di Baebunta meninggalkan daerah tersebut, meskipun etnis Rongkong telah bermukim didaerah tersbut sejak tahu 1954. Orang Baebunta menganggap etnis Rongkong adalah etnis yang suka membuat masalah. Konflik ini kemudian mereda setelah panglima Kodam VII Wirabuana turun tangan untuk menyelesaikan daerah tersebut.
Pada tanggal 4 dan 5 januari 2000, konflik kembali terjadi. Kali ini terjadi di Kecamatan Lamasi, yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 101 rumah musnah dibakar oleh kelompok yang bertikai. Beberapa hari kemudian, konflik ini meluas ke desa Wara dan Desa Cenning yang berada di kecamatan Malangke barat yang memang bersebelahan dengan kecamatan lamasi. Sejumlah orang dilaporkan cidera dalam kejadian ini, 143 rumah juga ikut terbakar dalam kejadian ini termasuk 3 rumah ibadah milik warga muslim dan kristen. Ribuan orang mengungsi kedaerah-daerah sekitarnya, utamanya kedaerah Masamba dan Palopo yang masing-masing merupakan ibukota kabupaten dari Luwu Utara dan Luwu.
Pada bulan agustus 2001 tepatnya pada tanggal 12, pertikaian pecah lagi antara pemuda dari desa cenning dan Waelawi. Desa cenning merupakan desa dengan komposisi penduduk etnis pendatang Toraja yang besar, sementara desa Waelawi kebanyakan di huni oleh penduduk etnis To Wara yang merupakan etnis asli luwu. Setidaknya 500 orang polisi duturunkan dalam kejadian ini. Meskipun tidak ada korban yang jatuh dari pihak yang bertikai, namun dilaporkan bahwa seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tewas diterjang peluru salah sasaran aparat yang berusaha meredakan pertikaian tersebut.
Dikecamatan Padang Sappa, juga terjadi konflik antar warga yang melibatkan warga desa Padang Sappa dan warga desa Buntu Karya yang terjadi pada tangal 29 Agustus 2001. kerusuhan antar warga ini mengakibatkan sedikitnya 9 orang tewas dan dan 73 rumah warga mengalami kerusakan. Pertikaian ini juga dipicu oleh pertikaian gang antara pemuda dari kedua desa yang bertikai. Dalam mencegah meluasnya pertikaian ini, pemerintah setempat melakukan usaha rekonsiliasi dengan mempertemukan warga yang bertikai, dengan difasilitasi oleh pemerintah dengan aparat keamanan setempat.
III. Konflik Tahun 2002
Awal tahun 2002, kembali ditandai dengan pecahnya pertikaian antar desa di kecamatan Malangke Timur Kabupaten Luwu Utara. Pertikaian ini dipicu oleh sejumlah pemuda di dusun Cappasolo, Buloe, dan padang di desa Benteng Kecamatan Malangke Timur. Para pemuda dari dusun Padang dan Buloe merasa tidak terima ketika teman mereka di tebas parang oleh seseorang di dusun Cappasolo pada tanggal 12 Maret 2002. Warga Cappasolo sebagian besar merupakan etnis Toraja dan Bastem, sedangkan warga dusun Buloe dan Padang didominasi oleh etnis asli Luwu yaitu to’ Ware. Untuk meredakan konflik ini, pamerintah kecamatan dan desa mengumpulkan para tetua masyarakat dari ketiga lingkungan tersebut, untuk membicarakan langkah-langkah untuk mencegah kejadian lebih lanjut. Namun dua hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya tanggal 16 maret, sebuah gudang padi di Cappasolo dibakar oleh sekelompok warga yang marah. Pada tanggal 17 maret pagi, serangan kembali terjadi, kali ini dilakukan oleh warga dari dusun Cappasolo yang kemudian membakar 4 rumah warga yang berada didusun Buloe dan Padang. Pertikaian ini kembali bisa diredakan oleh polisi yang kemudian dilanjutkan dengan penyusuran rumah warga dari ketiga dusun untuk melakukan razia senjata tajam dan senjata api rakitan yang berlangsung selama dua hari. Dan akhirnya pada tangga 27 maret 2002 pemerintah memfasilitasi para tokoh masyarakat dari ketiga dusun tersebut dipertemukan dalam sebuah upaya rekonsiliasi untuk menciptakan perdamaian antara ketiga dusun tersebut.
Tiga bulan setelah peristiwa tersebut, Pertikaian warga dusun Cappasolo, Padang dan Buloe Kembali pecah. Tepatnya tanggal 16 juni 2002. pertikaian ini dipicu oleh ditolaknya permintaan warga Cappasolo untuk memperoleh ganti rugi dari warga dusun Buloe dan Padang atas pertikaian sebelumnya, senilai 10 juta rupiah. Pada hari berikutnya, warga dari dusun Buloe dan Padang malah menyerang warga dusun Cappasolo yang mengakibatkan 3 orang tewas dan 58 rumah rusak berat. Dalam kejadian ini, lebih dari 1000 orang dari dusun Cappasolo mengungsi kekota palopo untuk mencari perlidungan. Kerugian material yang diderita warga akibat pertikaian ini di taksi sekitar 16 miliar rupiah. Untuk mencegah kejadian selanjutnya, pemerintah Kabupaten Luwu Utara kemudian menempatkan pos jaga di Dusun Cappasolo yang diperkuat oleh dukungan 100 personil dari kepolisian setempat.
Pada bulan September, pertikaian antar warga kembali pecah di kabupaten Luwu Utara. Kali ini terjadi di kecamatan Baebunta tepatnya didusun Karombing. Pertikaian ini bermula dari issu bahwa warga dusun Karombing akan menyerang warga Dusun Tobua. Issu ini ditanggapi oleh 300 orang warga dusun Tobua dengan mendatangi dusun Karombing dan membakar 29 rumah yang ada disana, pertikaian berlanjut ketika warga dusun Karombing melakukan perlawanan dan mengejar warga dusun Tobua yang menyerang dusun mereka. Pengejaran mereka berlanjut hingga kedusun Tobua. Disini warga Dusun Karombing membakar 8 rumah. Korban tewas akibat kejadian ini tercatat ada 2 orang.

Penyebab Konflik.
Berbeda dengan yang diisukan oleh beberapa lembaga pers, pertikaian yang terjadi di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, bukanlah pertikaian antara kelompok agama khususnya Muslim dan Kristen. Pertikaian ini lebih disebabkan akibat perebutan tanah, masalah sosial dan lemahnya institusi dalam melakukan tindakan prepentif untuk mencegah terjadinya pertikaian.
Masalah perebutan tanah mejadi pola dominan dalam penyebab pertiakaian antara warga masyarakat di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Hal ini disebabkan banyaknya warga imigran yang berasal dari kabupaten Toraja yang membuka lahan untuk menanam kakao di beberapa daerah di kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Pada awalnya, hal ini tidak pernah menjadi masalah. Namun seiring dengan meningkatnya harga kakao, penduduk asli mulai mempersoalkan hal tersebut. Diperparah lagi dengan tidak lengkapnya surat-surat tanah yang dimiliki oleh para pemilik ladang kakao. Dari persoalan klaim tanah inilah kemudian pertikaian bermula dan kadangkala menglami eskalasi yang cukup besar sehingga lebih kelihatan seperti pertikaian antara etnis atau pertikaian antar agama.
Masalah lain yang sering memicu pertikaian antara warga adalah adanya budaya geng-gengan dikalangan pemuda yang berada didesa. Hampir disetiap dusun terdapat gang pemuda yang merupakan perkumpulan dari pemuda setempat. Kebiasaan geng-gengan dikalangan pemuda ini diperparah lagi dengan kebiasaan meminum minuman keras dikalangan pemuda. Hal lain yang sering memicu atau menyebabkan eskalasi ketika terjadi pertiakain antar warga, adalah semangat atau loyalitas terhadap etnis dan kampung yang sangat tinggi. Sehingga persoalan kecil saja bisa memicu kemarahan warga sebuah desa.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah perbedaan perekonomian yang sangat mencolok antara warga pendatang dengan penduduk asli. Dimana kebanyakan warga pendatang menguasai perekonomian di beberapa daerah yang ada di Kabupaten Luwu dan Luwu utara. Hal inilah yang juga menyebabkan rasa iri para penduduk asli, sehingga dengan sengaja sering memicu pertikaian dengan warga pendatang yang umumnya kaya.
Usaha Yang Ditempuh Dalam Menyelesaikan Konflik.
Untuk menyelesaikan pertikain antar warga yang terjadi, berbagai usaha telah ditempuh oleh pemerintah Kabupaten Luwu dan Luwu Utara yang bekerja sama dengan aparat keamanan baik itu dengan aparat kepolisian maupun dengan tentara. Hal ini semata-mata ditempuh untuk menekan jumlah korban dan kerugian yang diderita oleh masyarakat, serta menciptakan perasaan aman dalam masyarakat. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa akibat konflik kekerasan antar warga, banyak warga yang merasa trauma akan terjadinya konfik kekerasan ditempat mereka.
Salah satu usaha yang paling sering ditempuh untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara adalah dengan melakukan Rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang dilakukan adalah dengan mempertemukan atau memfasilitasi pihak-pihak yang beertikai untuk duduk bersama dan saling berdiskusi untuk mencari jalan penyelesaian bagi persoalan yang mereka hadapi. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengundang para tokoh masyarakat dari kedua kelompok yang saling bertikai untuk berbicara dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Usaha rekonsiliasi, paling sering digunakan untuk menyelesaikan konflik antar warga di kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Usaha ini dianggap efektif dan mampu meredakan serta menyelesaikan konflik kekerasan yang sering terjadi di wilayah itu. hampir semua konflik diselesaikan dengan usah rekonsiliasi, misalnya konflik yang terjadi diwilayah Baebunta, Lamasi, Rongkong, Malangke, dan Malangke Utara. Usaha rekonsiliasi ternyata cukup efektif dalam meredakan dan menyelesaikan pertikaian antara warga ini.
Usaha penyelesaian konflik lain yang pernah digunakan adalah Represi. Represi ini dilakukan dengan mengejar dan menangkap pelaku-pelaku konflik kekerasan ataupun pihak-pihak yang dianngap terlibat dalam pertikaian tersebut. Hal ini biasanya dilakukan pada konflik kekerasan dengan skala yang cukup besar, dan tidak bisa lagi diselesaikan dengan jalan rekonsiliasi. Usaha-usaha resolusi konflik dengan jalan represi ini pernah dilakukan pada saat pecahnya pertikaian antar warga di sabbang, pada tanggal 16 nopember 1998. Usaha represi ini ditempuh karena dianggap usaha rekonsiliasi sudah tidak mampu lagi menyelesaikan pertikaian ini. Ini terbukti dengan terus terulangnya peristiwa pertkaian anatar warga di kecamatan Sabbang. Usaha represi lain dilakukan pada peristiwa perkelahian antar warga dusun yang terjadi dikecamatan buloe. Usaha ini juga ditempuh karena berbagai usaha rekonsiliasi sebelumnya tidak berjalan dengan baik, yang dibuktikan dengan terjadinya 3 peristiwa bentrok anatar warga dalam waktu sebulan. Usaha-usaha penyelesaian konflik dengan jalan represi, melibatkan aparat keamanan yang merupakan gabungan dari polisi yang berasal dari Polresta Luwu dan Polda Makassar, Brimob Pare-pare dan tentara dari Kodim 1403 Sawerigading dan Korem setempat.






Daftar pustaka
Deng, Francis M & Zartman, I. William . 1991. “Conflict Resolution In Africa” Brookings Institution Press, Washington D. C.
Zartman I. William. 1997 “ Governance as Conflict Management; Politics And Violence In West Africa”. Brookings Insttution Press, Washington D.C.
Artikel:
ICG Asia Report No. 60/18 july 2003 “Indonesia; ManagingDecentralization And Conflict In south Sulawesi”
Bina Baru, 11 desember 1998. “Perang di Luwu Gunakan 12 macam Senjata, Palopo Selatan di isukan akan diserang”
Fajar, 15 september 1998. “ Sudah 4 tewas, 36 luka dan 230 rumah dibakar”
Kompas, 25 Juni 2000 “Luwu utara lautan api”
Koran Tempo, 21 juni 2002. “Dua dusun di Luwu masih tetap mencekam”
Pedoman Rakyat, 13 desember 2003. “Rusuh du Luwu, Baebunta jadi lautan api “
_____________, 25 oktober 1998. “erang kelompok di perbatasan Lamasi-Sabbang”
[1] Pada awal tahun 1999, kabupaten Luwu mengalami pemekaran, membagi kabupaten tersebut menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Luwu dan Luwu Utara.
[2] Papporo adalah senjata rakitan yang dibuat dari Pipa baja yang diisi dengan korek api dan berbagai macam serpihan logam seperti eger, potongan besi cord an lain-lain.

1 komentar:

paramartharabb mengatakan...

The Best Free Slots & Casino Games - Jtm Hub
The best free 논산 출장안마 slots & casino 남양주 출장샵 games 2021 · Wild Casino: Best Slot Games and Slots Play Online 고양 출장샵 Slots · 시흥 출장샵 Play Free Casino Games 세종특별자치 출장샵 at JomCasino · Play the Best Casino Slot Machines for Fun